“Kau begitu cantik.” Kuselipkan tanganku ke arah
pinggangnya, aku juga memainkan hidungku, menggesekkannya ke arah belakang
telinganya dan menciumnya. Dia sedikit tertawa dan merasa geli, tapi dia tidak
mencoba untuk menghentikanku. Karena tanpa adanya perlawanan, Aku langsung
mencium dengan lembut ke arah bawah lehernya dan aku berputar arah agar aku
bisa menemukan bibirnya yang merah merona. Tangannya yang kecil menggenggam
bahuku dan sekejap nafasnya menjadi berat. “Aku tidak mau sendirian malam
ini”
I can count my blessings
Or I can count the stars
Makes no difference to me
As long as I am where you are
When the day gets rough
When life gets down
Can I wrap myself
…in your love
Saat aku ingin memulainya, musik rock ringtone
handphoneku mulai berbunyi dari sakuku. Aku pasti akan mengabaikannya sejak aku
tahu kalau yang menelfonku hanya teman-temanku yang brengsek dan wanita ini
lebih menarik dari pada mereka. Walaupun aku tidak bisa mengingat namanya
disaat-saat seperti ini. Tapi musik yang terdengar menarik perhatianku. Hanya
ada satu orang yang memiliki ringtone yang sama dengan milikku. Kulepaskan
tanganku dari wanita itu dan aku langsung mengambil handphone yang ada di
sakuku. Dia memberiku ekspresi kecewa dan melipat tangannya tanda ia marah
ketika aku meminta maaf padanya.
“Hi, Win. Ada apa ?” Aku langsung bertanya sebelum dia bisa menjawabku.
Win tidak akan menelfonku malam-malam begini karena dia tau aku pasti berada
dirumah terkecuali ada hal buruk yang terjadi. Hingga sampai aku mendengar
suara terisak darinya.
“Per..” Win merengek paraku, dan sekali lagi aku mendengarnya terisak.
“Win? Win! Apa kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?” Ku genggam handphone
ku dengan erat, Aku mencoba untuk tetap tenang. Kesedihannya terasa jelas dari
suaranya. “Win!”
“Per… Per…” Sebuah tangisan terdengar darinya dan tiba-tiba saja telfonnya terputus.
‘WIN! Sial!” Ku simpan kembali handphoneku, kupalingkan wajahku ke arah
wanita itu.
“Maaf, aku harus pergi.”
“Jangan! Per!” Dia memukul pelan kakinya sendiri dan menatapku, dia tidak
terlihat seperti saat pertama aku bertemu dengannya.
“Jangan meninggalkan aku sendiri disini!”
Aku melambaikan tanganku pada sebuah taksi, sekejap taksi sebuah taksi
berhenti dan membuka pintu mobilnya.
“Hanya ini yang bisa
kulakukan. Aku harus pergi, jadi apa kau akan naik atau tidak? Dengan kesal wanita
itu menaiki taksi yang tadi dan aku memberinya beberapa bath. Setelah itu aku
memandang ke arah supir dan berkata “Tolong antar dia sampai kerumahnya dengan
selamat P”. Setelah aku menutup pintu taksi itu, taksi itu pergi dan aku
menyempatkan diri untuk memotret nomer plat dari taksi itu, untuk berjaga-jaga.
Kupanggil lagi sebuah
taksi, dengan segera aku naik dan memintanya untuk segera pergi ke tempat teman
dekatku. Win dan aku sudah menjadi teman dekat saat kami mulai tinggal
bersebelahan, jadi kalau dia sedang tidak ada dirumah, dia pasti berada di
taman dekat ayunan tidak jauh dari rumah kami. Taksi ini membutuhkan beberapa
menit untuk sampai di sana. Saat sudah tiba di taman dengan segera aku melompat
keluar berlari kearah bayangan gelap di dekat ayunan.
“Win?” Aku memanggil
namanya dan menatapnya sebelum dia berbalik.
“Per? Maaf aku…” Suara
yang keluar dari mulutnya sangat lembut hingga sulit untukku mendengarnya
dengan jelas. Ketika aku mencoba mendekatinya, dia mencoba untuk berdiri sambil
tersenyum dan melingkarkan tangannya pada pinggannya sendiri.
“Win!” Aku mendekatinya
dengan segera, aku mencoba untuk menangkapnya sebelum ia terjatuh. “Duduklah…
Pelan-pelan saja.” Aku menonglongnya untuk duduk kembali ke bangku taman. Air
mata terjatuh dari matanya yang tertutup dan aku membasuhnya dengan lenganku.
Dia tidak mau berbicara
sepatah katapun dan aku tidak memerlukan penjelasan apapun. Aku sudah tau apa
yang terjadi padanya, dan aku mengerti apa yang terjadi. Ayahnya yang seperti
seorang tentara tidak bisa menerima kalau anaknya tidak bisa menjadi sama
sepertinya. Aku tidak sejahat ini sebelumnya. Ayahnya selalu berteriak padanya
tapi itu hanya membuat keadaannya bertambah buruk. Sebelumnya, dia mulai
memukuli Win dan aku tidak bermaksud untuk ikut campur. Aku hanya mencoba untuk
melindunginya sebisaku, tapi tidak banyak yang bisa aku lakukan. Dan tidak
jarang itu membuat dia bertambah marah.
Sambil menggenggam
tangannya yang kecil, aku menggeram, dan api murka terasa jelas didalam hatiku.
Aku tidak mengerti kenapa orang bisa menyiksa orang lain seperti ini, dan
membiarkannya dari kecil. Win adalah anak yang baik, dia adalah kebalikan
dariku. Dia selalu bertingkah baik dan sopan. Dia selalu mendapatkan peringkat
yang baik di sekolah dan ia tidak pernah menyebabkan masalah disekolah.
Seseorang harusnya merasa beruntung sudah memiliki orang seperti dia didalam
hidupnya. Bahkan ibuku sendiri menyukai Win, mungkin lebih menyukai Win dari
pada aku.
“Ayo Win, Kita ke
rumahku saja. Apa kau bisa berjalan?” Aku berusaha melenyapkan amarahku, aku
mencoba untuk lebih memikirkan Win. Dia membutuhkan bantuanku saat ini, bukan
kemarahanku yang bisa memperbaiki ketidak adilan dalam hidupnya.
Kami akhirnya sampai di
rumahku, dimana kami sampai cukup cepat, dan sangat beruntung aku bisa lari
dari pandangan ayahnya Win yang ada di sebelah rumahku. Setelah aku melepaskan
sepatuku dan sepatu Win, Aku berdiri dan sambil memegang Win aku membawanya ke
ruanganku di lantai dua. Setelah aku mendudukan Win ke atas kasur, aku berjalan
ke arah jendela dan menutupnya. Mengambil dua pasang pakaian tidur untukku dan
Win, Aku membantu untuk pergi mandi.
“Astaga, Win!”
Teriakanku keluar begitu saja saat aku membuka seragam sekolahnya. Tanda merah
melintang disekitar punggungnya, dan ada yang sudah membengkak berwarna ungu. Ada
beberapa bagian di punggungnya yang terluka parah hinggu berdarah, dan darah
mengalir di punggungnya. Lagi-lagi aku merasa kemarahanku benar-benar memuncak,
semakin besar, hingga aku mendengar Win tertatih kesakitan saat dia membenarkan
posisi tubuhnya. Perhatianku kembali padanya, kemarahanku mengusir kemarahanku
jauh kedalam pikiranku.
“Jangan bergerak. Aku
akan membersihkannya dan memberinya sedikit obat.” Setelah menyiapkan
segalanya, aku berbalik dengan wajah mengkerut. “Ini akan sakit.”
“Lakukan saja.” Win
mengangguk dan menggertakkan giginya.
Saat sentuhan pertama dia menggeram dalam kesakitan dan hanya suara itu
yang kudengar hingga aku selesai membalutinya. Dan dengan nafasnya yang pendek
dia memberiku senyuman kecil. “Terima kasih, Per.”
Aku mengangguk dan aku
membawa pergi sisa obat yang telah digunakan dan membuangnya ke tong sampah. Ku
basahi sebuah baju, lalu aku berjalan kearahnya dan dengan hati-hati aku
membasuh wajah dan lengannya karena aku tau Win tidak akan bisa mandi dengan
kondisi seperti ini. Mata Win mengikuti setiap pergerakan yang kulakukan, sebagai
tanda terima kasih dan terasa kelembetun didalamnya. Aku tidak pantas untuk
pandangannya itu. Aku tidak bisa melindunginya. Yang bisa aku lakukan hanya
bisa menutupi luka yang dia alami dan itu hanya membuatku merasa tidak berguna.
Setelah aku selesai, aku
membantunya untuk mengenakan piyamanya. Baju ini terlihat sedikit panjang saat
Win kenaan karena aku sekarang sudah sangat tinggi tetapi setidaknya semua
pakaian itu berih. Aku membawanya ke kasur dan aku menutupinya dengan selimut.
“Aku mandi dulu.” Win
mengangguk, matanya sudah setengah menutup karena Win lelah.
Setelah aku mebersihkan
tubuhku dan berpakaian, aku kembali kekamarku dan aku melihat Win sudah
tertidur, wajahnya berada di salah satu tangannya. Dengan sebuah helaan nafas,
aku mematikan lampu dan meranggkap kesampingnya, berbaring dengan kedua
tanganku melipat di bawah kepalaku, menatap ke arah langit-langit kamarku yang
gelap. Mencoba untuk mengingat semua kejadian yang terjadi hari ini tetapi itu
tidak berguna. Perasaanku terasa aneh dan aku tidak bisa fokus dengan satu hal
saja.
Win tiba-tiba menangis
disampingku dan aku bisa mendengar kalau Win membisikkan sesuatu. Sambil membungkukkan
bahunya, Aku bisa melihat dia masih tertidur tetapi air matanya terus mengalir.
Dan bibirnya terus bergerak dan kali ini aku bisa mendengarnya. Sebuah nama…
Namaku… “Per.” Win menggulungkan badannya di hadapanku dan aku mencoba untuk
menghindarinya, hingga ia meringgkuk ke tempat ku. Tangan yang berada di dekat
wajahnya tiba-tiba saja menggenggam pakaian ku, tepat di bagian dadaku.
“Mawin.” Namanya keluar
begitu saja dari mulutku dan aku tidak bergerak sedikitpun. Aku malah mencoba
memeluknya, dan berhati-hati agar aku tidak mengenai lukanya. Cukup aneh,
pikiranku tiba-tiba saja tenang dan aku merasa kehangatan menyelimuti
perasaanku saat itu. Aku tertidur dalam lelap. “Aku tidak sendiri.”
Thank's for reading here
Leave your comment.
Thank's for reading here
Leave your comment.
No comments:
Post a Comment