Monday 26 October 2015

1 : Where Are You



*Catatan – Lirik lagu yang ditambahkan di cerita ini adalah buatan sendiri jadi anda tidak perlu mencarinya di manapun dan jangan mengcopynya.
“Kau begitu cantik.” Kuselipkan tanganku ke arah pinggangnya, aku juga memainkan hidungku, menggesekkannya ke arah belakang telinganya dan menciumnya. Dia sedikit tertawa dan merasa geli, tapi dia tidak mencoba untuk menghentikanku. Karena tanpa adanya perlawanan, Aku langsung mencium dengan lembut ke arah bawah lehernya dan aku berputar arah agar aku bisa menemukan bibirnya yang merah merona. Tangannya yang kecil menggenggam bahuku dan sekejap nafasnya menjadi berat. “Aku tidak mau sendirian malam ini”



     I can count my blessings
     Or I can count the stars
     Makes no difference to me
     As long as I am where you are
     When the day gets rough
     When life gets down
     Can I wrap myself
     …in your love
                Saat aku ingin memulainya, musik rock ringtone handphoneku mulai berbunyi dari sakuku. Aku pasti akan mengabaikannya sejak aku tahu kalau yang menelfonku hanya teman-temanku yang brengsek dan wanita ini lebih menarik dari pada mereka. Walaupun aku tidak bisa mengingat namanya disaat-saat seperti ini. Tapi musik yang terdengar menarik perhatianku. Hanya ada satu orang yang memiliki ringtone yang sama dengan milikku. Kulepaskan tanganku dari wanita itu dan aku langsung mengambil handphone yang ada di sakuku. Dia memberiku ekspresi kecewa dan melipat tangannya tanda ia marah ketika aku meminta maaf padanya.
“Hi, Win. Ada apa ?” Aku langsung bertanya sebelum dia bisa menjawabku. Win tidak akan menelfonku malam-malam begini karena dia tau aku pasti berada dirumah terkecuali ada hal buruk yang terjadi. Hingga sampai aku mendengar suara terisak darinya.
“Per..” Win merengek paraku, dan sekali lagi aku mendengarnya terisak.
“Win? Win! Apa kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?” Ku genggam handphone ku dengan erat, Aku mencoba untuk tetap tenang. Kesedihannya terasa jelas dari suaranya. “Win!”
“Per… Per…” Sebuah tangisan terdengar darinya dan tiba-tiba saja telfonnya terputus.
‘WIN! Sial!” Ku simpan kembali handphoneku, kupalingkan wajahku ke arah wanita itu.
“Maaf, aku harus pergi.”
“Jangan! Per!” Dia memukul pelan kakinya sendiri dan menatapku, dia tidak terlihat seperti saat pertama aku bertemu dengannya.
“Jangan meninggalkan aku sendiri disini!”
Aku melambaikan tanganku pada sebuah taksi, sekejap taksi sebuah taksi berhenti dan membuka pintu mobilnya.
“Hanya ini yang bisa kulakukan. Aku harus pergi, jadi apa kau akan naik atau tidak? Dengan kesal wanita itu menaiki taksi yang tadi dan aku memberinya beberapa bath. Setelah itu aku memandang ke arah supir dan berkata “Tolong antar dia sampai kerumahnya dengan selamat P”. Setelah aku menutup pintu taksi itu, taksi itu pergi dan aku menyempatkan diri untuk memotret nomer plat dari taksi itu, untuk berjaga-jaga.
Kupanggil lagi sebuah taksi, dengan segera aku naik dan memintanya untuk segera pergi ke tempat teman dekatku. Win dan aku sudah menjadi teman dekat saat kami mulai tinggal bersebelahan, jadi kalau dia sedang tidak ada dirumah, dia pasti berada di taman dekat ayunan tidak jauh dari rumah kami. Taksi ini membutuhkan beberapa menit untuk sampai di sana. Saat sudah tiba di taman dengan segera aku melompat keluar berlari kearah bayangan gelap di dekat ayunan.
“Win?” Aku memanggil namanya dan menatapnya sebelum dia berbalik.
“Per? Maaf aku…” Suara yang keluar dari mulutnya sangat lembut hingga sulit untukku mendengarnya dengan jelas. Ketika aku mencoba mendekatinya, dia mencoba untuk berdiri sambil tersenyum dan melingkarkan tangannya pada pinggannya sendiri.
“Win!” Aku mendekatinya dengan segera, aku mencoba untuk menangkapnya sebelum ia terjatuh. “Duduklah… Pelan-pelan saja.” Aku menonglongnya untuk duduk kembali ke bangku taman. Air mata terjatuh dari matanya yang tertutup dan aku membasuhnya dengan lenganku.
Dia tidak mau berbicara sepatah katapun dan aku tidak memerlukan penjelasan apapun. Aku sudah tau apa yang terjadi padanya, dan aku mengerti apa yang terjadi. Ayahnya yang seperti seorang tentara tidak bisa menerima kalau anaknya tidak bisa menjadi sama sepertinya. Aku tidak sejahat ini sebelumnya. Ayahnya selalu berteriak padanya tapi itu hanya membuat keadaannya bertambah buruk. Sebelumnya, dia mulai memukuli Win dan aku tidak bermaksud untuk ikut campur. Aku hanya mencoba untuk melindunginya sebisaku, tapi tidak banyak yang bisa aku lakukan. Dan tidak jarang itu membuat dia bertambah marah.
Sambil menggenggam tangannya yang kecil, aku menggeram, dan api murka terasa jelas didalam hatiku. Aku tidak mengerti kenapa orang bisa menyiksa orang lain seperti ini, dan membiarkannya dari kecil. Win adalah anak yang baik, dia adalah kebalikan dariku. Dia selalu bertingkah baik dan sopan. Dia selalu mendapatkan peringkat yang baik di sekolah dan ia tidak pernah menyebabkan masalah disekolah. Seseorang harusnya merasa beruntung sudah memiliki orang seperti dia didalam hidupnya. Bahkan ibuku sendiri menyukai Win, mungkin lebih menyukai Win dari pada aku.
“Ayo Win, Kita ke rumahku saja. Apa kau bisa berjalan?” Aku berusaha melenyapkan amarahku, aku mencoba untuk lebih memikirkan Win. Dia membutuhkan bantuanku saat ini, bukan kemarahanku yang bisa memperbaiki ketidak adilan dalam hidupnya.
Kami akhirnya sampai di rumahku, dimana kami sampai cukup cepat, dan sangat beruntung aku bisa lari dari pandangan ayahnya Win yang ada di sebelah rumahku. Setelah aku melepaskan sepatuku dan sepatu Win, Aku berdiri dan sambil memegang Win aku membawanya ke ruanganku di lantai dua. Setelah aku mendudukan Win ke atas kasur, aku berjalan ke arah jendela dan menutupnya. Mengambil dua pasang pakaian tidur untukku dan Win, Aku membantu untuk pergi mandi.

“Astaga, Win!” Teriakanku keluar begitu saja saat aku membuka seragam sekolahnya. Tanda merah melintang disekitar punggungnya, dan ada yang sudah membengkak berwarna ungu. Ada beberapa bagian di punggungnya yang terluka parah hinggu berdarah, dan darah mengalir di punggungnya. Lagi-lagi aku merasa kemarahanku benar-benar memuncak, semakin besar, hingga aku mendengar Win tertatih kesakitan saat dia membenarkan posisi tubuhnya. Perhatianku kembali padanya, kemarahanku mengusir kemarahanku jauh kedalam pikiranku.
“Jangan bergerak. Aku akan membersihkannya dan memberinya sedikit obat.” Setelah menyiapkan segalanya, aku berbalik dengan wajah mengkerut. “Ini akan sakit.”
“Lakukan saja.” Win mengangguk dan menggertakkan giginya.  Saat sentuhan pertama dia menggeram dalam kesakitan dan hanya suara itu yang kudengar hingga aku selesai membalutinya. Dan dengan nafasnya yang pendek dia memberiku senyuman kecil. “Terima kasih, Per.”
Aku mengangguk dan aku membawa pergi sisa obat yang telah digunakan dan membuangnya ke tong sampah. Ku basahi sebuah baju, lalu aku berjalan kearahnya dan dengan hati-hati aku membasuh wajah dan lengannya karena aku tau Win tidak akan bisa mandi dengan kondisi seperti ini. Mata Win mengikuti setiap pergerakan yang kulakukan, sebagai tanda terima kasih dan terasa kelembetun didalamnya. Aku tidak pantas untuk pandangannya itu. Aku tidak bisa melindunginya. Yang bisa aku lakukan hanya bisa menutupi luka yang dia alami dan itu hanya membuatku merasa tidak berguna.
Setelah aku selesai, aku membantunya untuk mengenakan piyamanya. Baju ini terlihat sedikit panjang saat Win kenaan karena aku sekarang sudah sangat tinggi tetapi setidaknya semua pakaian itu berih. Aku membawanya ke kasur dan aku menutupinya dengan selimut.
“Aku mandi dulu.” Win mengangguk, matanya sudah setengah menutup karena Win lelah.
Setelah aku mebersihkan tubuhku dan berpakaian, aku kembali kekamarku dan aku melihat Win sudah tertidur, wajahnya berada di salah satu tangannya. Dengan sebuah helaan nafas, aku mematikan lampu dan meranggkap kesampingnya, berbaring dengan kedua tanganku melipat di bawah kepalaku, menatap ke arah langit-langit kamarku yang gelap. Mencoba untuk mengingat semua kejadian yang terjadi hari ini tetapi itu tidak berguna. Perasaanku terasa aneh dan aku tidak bisa fokus dengan satu hal saja.
Win tiba-tiba menangis disampingku dan aku bisa mendengar kalau Win membisikkan sesuatu. Sambil membungkukkan bahunya, Aku bisa melihat dia masih tertidur tetapi air matanya terus mengalir. Dan bibirnya terus bergerak dan kali ini aku bisa mendengarnya. Sebuah nama… Namaku… “Per.” Win menggulungkan badannya di hadapanku dan aku mencoba untuk menghindarinya, hingga ia meringgkuk ke tempat ku. Tangan yang berada di dekat wajahnya tiba-tiba saja menggenggam pakaian ku, tepat di bagian dadaku.
“Mawin.” Namanya keluar begitu saja dari mulutku dan aku tidak bergerak sedikitpun. Aku malah mencoba memeluknya, dan berhati-hati agar aku tidak mengenai lukanya. Cukup aneh, pikiranku tiba-tiba saja tenang dan aku merasa kehangatan menyelimuti perasaanku saat itu. Aku tertidur dalam lelap. “Aku tidak sendiri.”


Thank's for reading here
Leave your comment.

No comments:

Post a Comment