Aku merasakan ada sesuatu yang
berat di dadaku bersamaan dengan cahaya masuk ke kamarku melalui celah gorden.
Ku buka sebelah mataku dan ku lihat jam masih menunjukan waktu dimana ini masih
terlalu awal untuk bangun. Tubuh yang berada disampingku bersuara lembut sambil
bergerak mendekatiku, sambil mencari posisi yang nyaman, membuat mataku ingin
mengintip. Wajah Win memperlihatkan kekhawatiran dan kepahitan yang tampak
jelas walaupun dia sedang dalam tidur. Kuperhatikan alisnya, ku gerakkan
tanganku kearahnya dan mebelainya dengan jari jemariku dengan lembut. Sekali
lagi ku peluk dia dan ku dekap dia dengan hangat, hingga Win merasa nyaman dan
akhirnya ia kembali tidur pulas.
I’ve realized I am not lonely when you are near
And despite me and all of my doubts, gone is my fear
I am made warm by your care
I was disarmed so slowly
For you, my heart goes untied
You chase away all of my pride
I would give you everything I have
Coz I want you here by my side
Ketika aku kembali terbangun karena
suara alarmku, aku sendirian di kasurku. Ku usap mataku, dan aku bangun berusaha
untuk mematikan alarm ku dan duduk untuk melihat keadaan sekitar tapi ternyata
Win sudah tidak ada di kamar. Aku berjalan lurus ke arah jendela yang menghadap
langsung ke arah rumah Win dan berhenti sejenak sebelum membukanya. Aku bisa
mendengar suara keran dan aku bernafas legah, tubuhku kusandarkan kedinding.
Win masih disini.
“Per, apa kau sudah bangun? Kau
tidak kembali tidur setelah kau mematikan alarm, bukan?” Dia berteriak padaku
setelah dia mematikan keran air. “Kau harus segera bangun, ini sudah waktunya
untuk pergi ke sekolah.” Pintu kamar mandi terbuka dan kepalanya mengintip
keluar sambil mencariku. Rambutnya yang masih acak-acakan dan lehernya terlihat
yang lemas, memberitahuku kalau ia baru saja bangun.
“Aku sudah bangun.” Aku menggosok
kepalaku, dan berusaha bangun. Wajah paginya yang benar-benar kacau membuat ia
terlihat manis, tidak sepertiku.
“Oh.” Win menggosok rambutnya
dengan handuk sambil mencariku dan memberiku senyuman sambil masuk ke kamarku,
ia masih mengenakan pakaian ku yang tadi malam. “Kau sudah bangun. Aku mau pulang
dulu dan bersiap-siap untuk pergi sekolah.”
Aku menatatap kearah jendela dan
khekawatiran telihat jelas di wajahku karena Win berjalan kearahku dan memegang
lenganku.
“Tenag saja,
Per. Ayahku sudah pergi pagi-pagi sekali jadi tidak ada orang dirumah.”
“Apa dia akan marah karena kau
menginap dirumahku?” Ku tatap matanya, apa yang bisa kulihat hanya bekas luka
yang terlihat jelas di kulit lembutnya. Aku tidak mau itu terjadi lagi, aku
tidak mau mendengarnya menangis dan air matanya mengalir lagi. Hanya dengan
mengingat lukanya, Aku benar-benar bisa merasakan kesakitan yang Win rasakan.
“Tenang saja. Aku sudah mengirim
pesan singkat kepada ibuku saat kau mandi tadi malam, jadi tidak akan ada
masalah. Aku yakin ayahku sudah tenang sakarang.” Win melepaskan tangannya dan
memandang ke bawah. Setelah itu dia mengubah topik pembicaraan. “Apa kau sibuk
setelah pulang sekolah hari ini?”
“Aku harus pergi ke ruangan klub
setelah sekolah hari ini karena aku harus membantu mereka untuk menyiapkan
barang-barang yang dibutuhkan untuk kontes nanti. Tidak ada latihan hari ini….
Aku tidak membutuhkannya. Karena aku sudah terlalu hebat.” Aku memberinya
senyuman, mencoba untuk menyembunyikan perasaanku tapi aku harus lebih bisa
meyakinnya. Win sangat mengenalku.
“Jangan mengkhawatirkanku.” Sambil
menyenakan seragamnya yang kemarin, Win berjalan pergi tanpa memberiku
kesempatan untuk berkata-kata. Dia berhenti sejenak dan memandangiku.”Sampai
bertemu di luar setengah jam lagi?”
Setelah aku menganggukkan kepalaku,
dia pergi melinggalkanku sambil melambai ke arahku dan menutup pintu. Aku
bingung melihatnya yang sekarang begitu kuat, berbeda dari dia yang tadi malam
terlihat begitu lemah. Untuk beberapa alasan, itu tidak bisa membuatku tenang.
Malah itu hanya menambah kekhawatiranku.
Win dan ayahnya tidak biasa seperti
ini. Ayahnya selalu terlihat kaku tapi ia juga biasa tersenyum. Aku tidak yakin
dengan apa yang terjadi sejak Win tidak mau membicarakan hal tersebut, senyum
dan tawanya semakin lama semakin hilang semakin kamu bertambah dewasa dan
peraturan semakin bertambah rumit. Tidak tahu apa yang terjadi pada ayahnya dan
dia sering sekali meneriaki Win. Tidak peduli seberapa baik yang Win lakukan,
ayahnya selalu saja merasa Win seharusnya bisa lebih baik lagi. Dia mulai memukuli
Win beberapa waktu yang lalu setiap kali Win melakukan sesuatu yang di
anggapnya salah. Win berusaha untuk menyembunyikan itu padaku, tapi itu akan
sangat sulit disembunyikan ketika kami tinggal bersebelahan seperti ini. Bahkan
aku bisa melihat luka lebamnya dari jendela kamarku. Aku membuat janji jika ada
hal buruk yang terjadi padanya dia bisa memanggilku. Sebelumnya belum pernah
terjadi kejadian separah tadi malam.
Ku gelengkan kepalaku untuk
menghilangkan pikiran burukku, Aku berjalan ke kamar mandi. 40 menit kemudian
aku keluar dari rumahku dengan senyuman ceria dan tasku yang ku bawa. Win
sedang sibuk dengan telpon genggamnya sambil menungguku. Aku mebuka pagar
begitu pelan dan sambil berteriak “HA….” Kepada Win, membuat dia sekejap
melompat terkejut.
“Hei, apa kau tidur sambil berdiri
disini?” Aku bertanya pada Win sambil tertawa.
“Jika kau lebih lama lagi, mungkin
saja..” Dia mengkerutkan dahinya padaku saat aku menutup pagar.
“Butuh waktu untuk membuatku
terlihat rapi seperti ini.” Kurapikan kerahku, dan aku menyeringai padanya. Dia
memalingkan matanya dan dia mengucapkan sepatah katapun. Aku tau aku telihat
keren. Dia hanya tersenyum dan mendorong tanganku agar aku bisa menutup pagar
dibelakangku.
“Ayo atau kita akan terlambat.”
Di ujung block kami, anjing
tetangga menggonggong kami dan Win membalasnya. Kata-katanya terhenti di
kerongkongannya dan ia terlihat kesakitan. Dia mencoba menggapai sesuatu di
sampingnya, dan Win menarik nafas yang cukup panjang.
“Apa kau baik-baik saja, Winnie?”
Aku tidak tahu apa yang dapat kulakukan untuk menolongnya, jadi aku hanya bisa
menaruh tanganku ke bahunya untuk meyakinkannya aku ada di sampingnya.
“Aku akan
baik-baik saja, beri aku waktu.”
“Berapa lamapun yang kau mau” aku
melihat kearah tasnya, aku memindahkan tanganku dari bahunya dan aku mencoba
untuk menggapai tasnya. “Biar aku yang membawanya.”
“Aku bisa…”
“Diam.” Menjauh dari gapaian
tangannya, aku memegang kedua tas kami di punggungku. “Aku mengerti. Kau bisa
mengambil kembali tasmu sebelum kita sampai di gerbang sekolah. Tidak ingin
orang lain salah sangka terhadap kita. Mereka akan mengira kalau kita itu
berpacaran kalau aku membawa tasmu hingga kita sampai ke kelas.” Aku berkedip
padanya untuk mengembalikan moodnya.
Win memberiku tawa kecil tapi aku
bisa melihat kekecewaannya yang bersembunyi dibalik matanya, sepertinya dia
kecewa karena aku tidak memperbolehkan dia untuk membawa tasnya. Kami kembali
berjalan tapi aku sengaja untuk berjalan lebih lambat dari biasanya.
“Kita tidak perlu jalan selambat
ini karena aku. Ini akan membaut kita terlambat.” Win menarik seragamku agar
aku berjalan lebih cepat.
“Siapa bilang aku berjalan pelan
untukmu?” Aku menaikkan alis mataku saat aku bertanya padanya, kami berjalan
lebih lambat. “Aku menikmati pagi yang cerah ini.” Aku memasukkan tanganku ke
sakuku, aku mulai bersiul dengan nada yang tidak jelas, aku mencoba untuk tidak
tertawa karena rasa frustrasi Win.
“Serius, Per?” Dia memberiku
pandangan gelisah dan berjalan lebih cepat dariku. “Baiklah. Aku akan pergi ke
sekolah duluan tanpamu.”
“Pergi saja, apa kau tidak butuh
tasmu lagi?” Aku mencoba tertawa sambil mendekap tasnya ditanganku.
“Dasar! Kembalikan tasku.” Dia
mengepalkan tangannya.
“Tenang, Mawin. Kita masih punya
banyak waktu.” Aku melihat kearah jam tanganku, mataku menyipit. Waktu sudah
semakin sedikit. “Dengan sedikit cepat, ini tidak akan sakit.”
Sambil tertawa kecil, Win menunggu
ku dan kami lanjut berjalan, bersebelahan. Tidak lama kami berjalan, akhirnya
kami sampai di depan pintu gerbang sekolah. Aku mengembalikan tasnya seperti
janjiku dan kami berjalan masuk.
Sepanjang pagi dihabiskan di ruang
kelas dimana Win adalah seorang murid yang hebat dan aku seorang murid yang
hampir tertidur dikelas. Itulah rutinitas kami. Dia sangat memperhatikan dan
dia membuat banyak sekali catatan, dan aku hanya akan melihat PRnya nanti. Kami
biasa belajar bersama untuk test jadi aku tidak perlu memerhatikan guru saat di
kelas dan Win adalah seorang pengajar yang sabar.
Saat makan siang, Win akan makan
siang bersama Mick jadi aku akan pergi makan bersama-sama teman klubku. Setiap
kami bersama pasti akan terdengar suara gaduh. Setelah kami duduk dengan
membawa makanan kami, Knott bermaksud untuk memakan mienya dalam satu suap
karena sangat sulit dia mencoba untuk menghabiskan mienya dalam satu tegukan.
P’Khom tertawa terbahak-bahak
karena itu. Sayangnya, dia juga sedang dalam keadaan dimana mulutnya penuh
dengan nasi dan dia menyemprotkan ke pada kami semua, dimana Knott juga terkena
semprotannya dan kami memulai perang makanan kami.
“Kau tidak akan akan bisa
melawanku!” P’Ohm berteriak sambil melemparkan sebuah bakso ke arah kepala
P’Khom.
“Sial kau!” mengambil apapun yang
tersisa di piringnya, P’Khom mengambilnya dan melemparkannya ke arah kepala
P’Ohm, dan ia terkena tembakan mematikan sehingga dia terjatuh ke lantai dengan
gaduh. Dan dia meraih kaki P’Film.
“Nah, yang satu ini sudah kalah.”
P’Film mangatakannya dengan lemparan akhir.
“Aku tidak selemah itu kampret.”
Sambil kembali duduk, P’Ohm meninjunya di lengan.
“Benarkah? Aku pikir kau sudah
kalah.” Tertawa kami lepas setelah semua itu.
Dan ini menghentikan perbuatan
bodoh kami. Semuanya kecuali aku harus pergi membersihkan pakaian mereka dan
sekejar mereka berlari ke loker mereka. Aku sangat hebat dalam menghindar jadi
aku hanya perlu membersihkan nasi yang menyangkut dirambutku dan bajuku. Aku
menatap ke arah ruangan lain, aku melihat Win dan Mick menertawakan perbuatan
kami. Ini sangat menyenangkan saat bisa melihat Win tertawa.
Kelas siangpun dimulai dengan suara
guru yang membosankan dimulai, suara
deritan kapur yang ditulis di papan, dan suara-suara kertas terdengar. Saat
kelas benar-benar berakhir, aku langsung berkemas-kemas bersiap untuk pergi. Aku
langsung melambaikan tangan kepada Win sebelum aku pergi melewati pintu, karena
aku tau guru kami akan menahan kami lebih lama di kelas.
Aku tidak berhenti sebelum aku
sampai di ruangan klubku. Aku melihat keruangan sekitar, akulah orang pertama
yang sampai disini. Kulempar tas ku kearah dinding dan aku merebahkan badanku
ke arah sofa. TIdak egitu lama berbaring disana, aku mendengar mereka sudah
sampai di ruangan klub. Kami bermain sejenak sampai akhirnya P’Ohm datang
dengan setumpuk kertas bersamanya. Itu adalah poster untuk Konser langsung kami
yang akan kami tempetlkan di setiap sekolah yang berbeda.
Benarkah, P’Noh adalah ketua klub kami,
akhir-akhir ini dia tidak selalu bersama kami. Dia selalu pergi bersama pacar
kecilnya yang manis dari sekolah wanita atau pergi bersama P’Phun. P’Ohm adalah
wakil ketuanya, jadi dia kan menggantikannya ketika dia tidak ada.
Aku berjalan ke tempat yang sudah
di tandai, yang mana tempat ini dekat dengan kelasku, dan aku menempelkan
poster ke dinding sekitar tempat ini. Saat aku sedang memasang sebuah poster,
tiba-tiba aku tergelincir dan semua kertasku berserakan di lantai. Sambil
menghela nafas, aku mengambil semua poster yang tadinya terjatuh, sesaat
setelah itu ada seseotrang yang
meletakkan beberapa poster ke tanganku.
“Oh, Win.”
“Butuh bantuan, Per?” Dia berbicara
sambil merapikan kertas yang ada.
“Tidak perlu, aku bisa
menyelesaikannya sendiri.” Sungguh, aku merasakan sakit di pantatku tapi aku
tidak mengakuinya.
“Apa ini Kontes live kita?” Win
memandang lebih dekat ke arah poster.
“Ya, apa kau akan ikut?” sambil
menganggukkan kepalaku, dan penasaran akan ketertarikannya. Aku tidak tahu
kalau dia begitu tertarik pada musik. Itu hanya pemikiranku saja.
“Aku tidak tau bagaimana cara
memainkan musik.” Win mengingatkanku, dan aku tersenyum padanya. “Jadi akau
akan menempalkan poster ini disemua sudut sekolah? Apa kau butuh bantuan?”
“Tidak perlu, aku bisa
melakukannya.”
“Tapi jika aku membantumu, kau akan
lebih cepat selesai.” Dia memaksa untuk tetap bersamaku dan aku merasa itu
aneh. Yang benar saja, siapa yang mau melakukan hal seperti ini dimana dia
bukan anggota dari klub kami?
“Apa ada sesuatu?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin
kita pulang ke rumah bersama-sama.” Suaranya mencari cepat dan ia melanjutkan
kata-katanya. “Kau terlihat begitu sibuk akhir-akhir ini.”
“Tentu saja. Aku punya banyak
kencan dengan wanita.” Mencoba untuk mendapatkan senyum darinya, aku
menggerakkan alis mataku kepadanya. Win hanya menatapku, sambil menggigit
bibirnya. Itu membuat perhatianku tertuju padanya, ia sungguh terlihat manis
saat Win melakukan hal tersebut. Tentu saja, itulah Win, tidak semua wanita
menginginkan ini aku menurunka pandanganku dan perbaling. “Jadi, bagaimana
denganmu? Kapan kau akan mencari seorang wanita?”
“Aku tidak
yakin.” Win terlihat serius saat dia mengatakannya.
“Kau tidak akan pernah menemukan
seorang wanita jika kau terus membuntutiku seperti anak anjing.” Aku tidak bisa
melihat kearahnya ketika aku mengatakannya tapi aku bermaksud berkata “Lakukan
saja apa yang kau sukai.”
“Kau benar-benar tidak butuh
bantuanku?”
“Aku bisa melakukannya.”
“Apa kau benar-benar tidak
membutuhkan bantuanku sama sekali?” Dia menatapku begitu dalam melalui bulu
matanya yang gelap. Aku tidak bisa menolaknya.
“Ambil ini.” Karena ia benar-benar
ingin membantuku, ku berikan semua tumpukan poster padanya ketika pikiran baru
saja terlintas di benakku.”Kau bisa melakukannya. Aku akan duduk dan melihatmu.
Silahkan.”
Win mengambil semua poster yang ada
dan berusaha mengambil selembar poster dari tumpukan kertas yang ada. Dia
berbalik kearahku dan dengan wajah yang frustasi.”Bantu aku.”
“Berikan padaku.” Sambil tertawa,
ku tepuk kepalanya dengan lembut dan ku ambil poster dari tangannya. “Kau
pagang tumpukan poster itu dan aku akan menempelkannya.”
Ini seperti tidak ada habisnya
untuk kami. Win berlari ke arah kelas untuk mengambil tasnya sebelum pergi bersama ke ruangan klub untuk
mengambil barangku. Kami melambaikan tangan sebai tanda perpisan sebelum kami pergi
dari ruangan klub. Saat kami sampai diluar pagar rumah Win, disana sungguh
gelap dan mobilpun tidak ada.
“Sepertinya tidak ada orang
dirumah. Apa kau mau pergi kerumahku dulu sambil menunggu mereka pulang?” Aku
masih belum bertanya soal lukanya dan dia tidak mengatakan apapun tentang
lukanya, tapi ingatan tadi malam terus menghantuiku. Itu membuatku menjadi
sangat protektif kepada Win.
“Mungkin tidak. Ibuku akan segera
pulang dan aku masih punya beberapa PR yang harus aku selesaikan.” Dia tidak
mau memandangku saat berbicara dan dia hanya memandangi sepatunya.
“Apa kau yakin?” Aku memandangi
ruangan gelap rumahnya dengan khawatir. “Apa kau mau temani?”
“Tidak perlu.” Dia melambaikan
tangan padaku, Win berjalan masuk ke rumahnya, dan berjalan lurus masuk
keruangan rumahnya yang gelap. “Sampai berjumpa besok.”
“Sampai jumpa.” Aku melihatnya
masuk kedalam rumahnya dan sebuah perasaan takut akan kehampaan menyerangku. Melihat
rumahku yang terang akan penerangan lampu, Aku benar-benar tidka bisa masuk
kedalamnya jadi aku berbalik arah. Aku penasaran apa wanita kemarin masih
tertarik untuk pergi berkencan denganku…
Thank's for reading in my blogger ^,^
No comments:
Post a Comment