Saturday 31 October 2015

5 :The Ride Home


“Kau berhasil membuat semua wanita gila, kau menyelamatkanku, dan kau membuat semua orang yang ada disana berfikir kalau kita adalah pasangan Gay… Aku sudah cukup dengan semua yang terjadi malam ini.” Saat aku menjauh dari Win, dan aku mengkedipkan mataku padanya. Karena dia terlalu lucu aku mencupit pipinya dengan lembut dan berkata. “Apa kau siap untuk pulang, Manis?”
“Hentikan, Per. Kau menyeramkan.” Saat itu aku bisa melihat pipinya memerah dibawah sinar lampu jalan.
“Tampan!” sambil tersenyum, aku berjalan ke tepi trotoar untuk memanggil sebuah taxi. “Ayo, sayangku. Kita pergi dari sini.”
Aku membukakan pintu untuk membiarkan Win masuk lebih dulu dan aku memberi tahu tujuan kami kepada supir taksi setelah itu. Taksi itu berhenti sejenak karena macet dan kami kembali membicarakan petualangan kami malam ini. Aku bisa melihat dia merasa ngeri saat ia mencoba mengingat si gorila yang akan menghancurkanku saat itu, jadi aku mencoba untuk mengubah topik pembicaraan tentang apa yang terjadi di sekolah hari ini.
“Hampir semua band yang mendaftarkan diri hari ini begitu menyeramkan.” Dan aku mencoba untuk memberitahunya tentang kejadian siang ini. “Itu benar-benar membosankan. Kami hampir duduk selamanya disana dan tidak ada satupun yang mendaftar. P’Ohm hampir saja tertidur.”
“Benarkah? Aku pikir kompetisi band ini sangat populer.” Win menatapku serius.
“Ya.” Aku tertawa dan ku anggukkan kepalaku. “Dan saat itu, P’Film mencoba untuk mencekikku..”
“Tunggu. Kenapa P’Film bisa marah padamu?”
“Aku menamparnya dengan pahaku.” Win melipat tangannya dan mengangkat alisnya, dan itu membuatku merasa aku harus bertahan. “Apa? Sudah kubilang aku bosan disana dan dia juga duduk disampingku, tanpa memperhatikanku.” Baiklah, itu bukan alasan yang bagus.
“Uh huh.” Win tersenyum padaku. “Dimana P’Noh si ketua klub?”
“P’Noh tidak sekolah hari itu. Kami dengar ia pergi bersama P’Phun bersamaan juga dengan pacar mereka ke pantai. P’Ohm sangat tidak senang dan dia meneriaki nama P’Noh, apalagi disaat banyak mereka yang tiba-tiba datang bersamaan untuk mendaftar. Tiba-tiba taksi yang kami tumpangi berhenti sehingga itu mengganggu pembicaraan kami. Setelah aku membayar sopir taksi, kami turun dan aku mengantar Win kedepan rumahnya. “Semua yang ada disana waktu itu sangat ramai dan mereka mengkrumuni kami, dan itu membuat P’Ohm bertambah kesal. Dan setelah itu P’Ohm benar-benar marah saat ada seorang anak yang bertanya padanya kenapa kucingnya tidak mau makan Tuna.”
“Kau bercandakan?” Win tertawa terbahak-bahak sambil berpegangan ke pagar. “Seseorang menanyakan sesuatu tentang kucingnya?”
“Serius. Aku tidak tau apa yang ada dipikirannya. Kenapa kami harus peduli dengan kucingnya?” Sambil menggelangkan kepala, aku penasaran dengan keanehan orang lain. “P’Ohm benar-benar lepas kendali waktu itu, dia mencoba untuk menjambak rambutnya sendiri sambil berteriak. Aku bisa melihat kalau rambutnya ada yang lepas saat dia menarik rambutnya.” Karena semua yang kuceritakan, Winnie tertawa begitu keras, aku tidak bisa menahannya. “Kau harus melihatnya sendiri, Win,”
“Aku harap aku bisa. Klubmu sangat menyenangkan.” Win menghela nafasnya, sungguh keadaan yang buruk kalau ayahnya tidak membiarkan Win untuk bergabung dengan klubku. Win tidak bisa memainkan instrumen tapi dia bisa bernyanyi. Ayahnya bilang musik itu hanya membuang waktu saja lebih baik Win fokus dengan pelajarannya. Ini sungguh tidak adil karena dia adalah orang yang paling pandai dikelasku.
“Kau bisa datang kapanpun jika kau mau.” Aku tau dia tidak bisa bergabung tapi bukan bearti dia tidak boleh berkumpul dengan kami. “Kenapa kau tidak datang melihat audisi minggu depan dengan ku?”
“Apa boleh? Aku bukan anggota dari klubmu.” Win merasa ragu-ragu, sebuah harapan terpancar dari matanya.
“Tentu saja. P’Noh dan P’Ohm bilang tidak masalah jika ingin mengundang seseorang.” Ku berikan senyuman tampanku dan berkedip padanya. “Dan kau juga bisa melihatku bermain disana.”
“Baiklah, aku akan datang. Mungkin agak telat, karena aku harus mengerjakan kewajiban kelas.” Dia setuju dan tersenyum padaku, tiba-tiba senyumannya hilang saat lampu depan rumahnya hidup. Dengan cepat di memandang ke arah sana dan langsung menatapku kembali. “Aku sebaiknya masuk sekarang.”
“Apa kau sibuk minggu ini? Mau pergi bersamaku?” Aku tidak tahan melihat matanya yang dipenuhi dengan kesedihan karena dia harus masuk kedalam rumahnya.
“Aku tidak bisa. Kami akan pergi ke tempat nenek besok dan akan kembali hari minggu.” Dia menurunkan bahunya, dan membuka pagar rumahnya sambil berjalan masuk. Dia memperhatikan pandanganku, dan ia memberiku senyuman dan itu malah membuatku bertambah khawatir. “Aku sangat senang malam ini, Per. Terima kasih sudah mengajakku.”
“Kapan saja, Win.” Aku membungkuk, dan ku usap kepalanya. Kami saling menatap saat itu. “Semoga harimu menyenangkan besok. Jangan membuat masalah ya.”
“Bukankah seharusnya aku yang berkata seperti itu, Per?” Win membalas ejekanku dan aku tidak bisa menahan tawa.
“Aku? Aku selalu baik-baik saja.” Sambil memainkan alisku kepadanya, Win mencoba untuk memukul lenganku. Setelah itu aku melambaikan tangan padanya. “Sampai bertemu di hari senin, Mawin.”
“Sampai jumpa di hari senin, Per.” Sambil membalas lambaianku, Win kembali tersenyum kepadaku dan masuk kedalam rumahnya.
“Hati-hati, Winnie.” Suaraku begitu kecil seperti sebuah bisikan, bahkan hanya anginlah yang bisa mendengarnya. Aku bersyukur bisa menjadi tetangganya dan berteman baik dengannya. Sendirian, aku berbalik dan masuk kerumahku.

Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa komentar, like dan subcribe ya ^^

No comments:

Post a Comment