Monday 9 November 2015

7: Safety and Tears (Part 2)

Aku dan Win pulang tanpa berbicara apapun, hanya suara mobil dan suara beberapa orang yang melewati kami. Kami sama-sama sedang lelah karena kegiatan hari ini. Akhirnya kami sampai di depan rumah Win.
“Sampai berjumpa besok.” Win berbicara sambil memandang ke arahku.
“Ya.” Saat aku ingin tersenyum padanya, aku bisa melihat salah satu mata Win memerah dan aku menunjuknya. “Apa yang terjadi pada matamu?”
“Aku tidak tau. Mungkin hanya debu.” Dia mencoba menggosok matanya yang merah. Aku mengangkat tanganku dan ke sentuh dengan lembut pipi kanannya, aku bisa merasakan kulit lembutnya dari telapak tanganku, aku mencoba melihat matanya dan memastikan tidak ada salah. Lalu aku mencoba lebih mendekat ke matanya, aku meniup matanya dengan lembut, berharap ini bisa menghilangkan debu yang mungkin membuat matanya iritasi. Matanya menyipit saat dia berdiri didepanku seperti patung.
“Win.” Suara dengan nada berat tiba-tiba mengganggu kami dan kami bisa melihat Ayah Win sedang berdiri di depan pintu rumahnya.
“Kenapa kau pulang malam sekali?!” Suaranya terdengar kalau dia sedang marah.
“Aku barusaja melihat pemilihan Band.” Win mencoba menjawabnya dengan tenang.
“Per, apa lagi-lagi itu kau?” Kemarahan berubah mengarah kepadaku saat dia memandangku. Dan kembali ia memandang Win. “Win cepat masuk. Kita harus bicara.”
“Apa kau mau aku menunggumu disini?” Aku tidak menghiraukan ayahnya dan melihat ke arah Win.
“Tidak apa. Kau harus pulang kerumah.” Win berusaha menyuruhku pulang dan ia tidak ingin memperlihatkan ketakutanya padaku. Kami bisa melihat dimana ayah Win sedang dalam keadaan tidak senang dan Win masuk kerumahnya.
Ketika Win sudah cukup dekat dengannya, dia langsung memegang tangan Win dan menyeretnya masuk kedalam rumah sambil menutup pintu. Win hanya memandangku dengan tatapan sedihnya saat dia diperlakukan seperti itu oleh ayahnya. Aku tertinggal di belakang dalam kegelapan, tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya terdiam kaku dan aku bisa merasakan ketegangan yang terjadi di rumah Win dari suara yang kudengar. Sambil melihat ke arah tembok rumahnya, aku tidak yakin dengan apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus tetap disini, walaupun Win menyuruhku untuk pergi? Apakah aku harus melakukan apa yang Win katakan padaku? Bagaimana jika dia membutuhkanku? Bagaimana jika dia mulai marah dan tidak akan berhenti? Bagaimana jika….
“Bagaimana bisa kau melakukan ini?!” Suara ayah Win semakin tinggi dan itu membuat semakin khawatir, dan membuatku merasa amat takut.
“Ayah, tidak.” Win menangis diikuti dengan dia meminta belas kasihan dari ayahnya.
“Bagaimana dengan pekerjaanku?” Di setiap perkataan, aku bisa mendengar suara pukulan dan itu sudah pasti mengenai satu orang. “Kau benar-benar cabul?! Semua itu foto siapa?! Aku menemukan semuanya. Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?!”
Aku tidak bisa hanya berdiri dan mendengar semua itu. Aku tidak bisa hanya berdiri mendengar Win rintihan Win, disaat aku tau apa yang ayahnya lakukan padanya. Sambil meletakkan tasku di atas kotak pos, aku melompati pagar rumah Win dan berlari ke arah pintu rumahnya. Yang bisa aku pikirkan sekarang hanyalah pergi ke tempat dimana Win sekarang berada untuk menghentikan kepedihanya. Aku langsung membuka pintu rumah Win, dan aku bisa melihat ayahnya beberapa kali memukuli Win sambil memegang Win dengan tangannya.
“Ayah!” Sambil berdiri didepan Win, aku mencoba untuk menjauhkan orang itu dari Win.
“Jangan memanggilku dengan sebutan itu!” Ayah Win membentakku dengan keras. “Aku bukan ayahmu!”
“Baiklah, Paman.” Aku berdiri di depan Win yang sedang menangis, Aku tidak peduli dia mau dipanggil apa tapi aku mencoba untuk menghentikan semua ini. “Kau tidak berhak melakukan ini pada Win.”
Mata ayah Win memerah saat dia memandangku. “Apa kau tidak tau kalau semua ini terjadi karena kau?!”
“Aku?” Sekarang aku benar-benar bingung. Apa yang sudah aku lakukan terhadap Winnie? Apa dia benar-benar kehilangan akalnya? “Apa yang sudah aku perbuat?”
“Semuanya.” Dia menyalahkanku. “Mulai sekarang sebaiknya kau menjauh dari Win!”
“Kenapa aku harus melakukannya?! Dia temanku.” Aku tidak bermaksud berdalih padanya.
“Kau benar-benar tidak tau kalau dia…” Win menghentikan perkataannya.
“Ayah, jangan!” Win mencoba menghentikan ayahnya sambil menggelengkan kepalanya.
“Oh, jadi kau sekarang malu? Bagaimana sebelumnya?!” Dia kembali mencoba untuk menggapai tangan Win.
“Paman, hentikan.!” Aku mencoba menghalanginya. Dia tidak akan bisa menyentuh Win, aku tidak akan membiarkannya. “Jika kau tidak berhenti, aku akan membawanya kerumahku!”
“Tidak bisa.” Orang tua itu membantahku.
“Kenapa tidak!?” Aku meneriakinya, karena aku tidak bisa lagi mengendalikan emosiku. “Dia anakmu. Bagaimana bisa kau melakukan ini padanya?”
“Itu urusanku.” Dia meneriaku.
“Win akan bersamaku malam ini.” Aku menarik tangan Win, mencoba untuk membawa keluar dari rumahnya.
“Hentikan.” Orang tua berjalan menghalangiku, dia menghentikanku saat itu. Dan sambil menatap dia mencoba membuat kesepakatan denganku. “Aku tidak akan memukulnya lagi… Tapi mulai saat ini kau harus menjauh Win.”
Aku menatap kearah Win, aku bisa melihat ketakutannya saat dia menggelengkan kepalanya padaku, sebuah tanda agar aku tidak menyetujui permintaan ayahnya. Tangannya bergemetar ketika dia megenggam tanganku, ia mencoba untuk mencari rasa aman dari aku. Setelah itu aku kembali melihat kearah ayah Win, Win masih menggengam tanganku, dan mencoba untuk tetap berada didekatku. Tapi aku sudah menentukan pilihanku.
“Baiklah, tapi paman harus berjanji untuk tidak memukulnya lagi.” Saat mengatakan ini rasanya aku serpeti membunuh diriku sendiri, tapi Win terus mencoba untuk dekat padaku. Jika aku menjauh dari Win bisa membuatnya bebas dari siksaannya aku akan melakukannya.
“Baiklah.” Ayahnya menjawab setelah dia beberapa menit berpikir, tapi dia terdengar tidak tulus saat mengatakan hal itu. “Aku akan berjanji, tapi kau juga harus menjaga ucapanmu.”
Aku kembali melihat kearah Win, aku bisa melihat wajahnya yang penuh dengan rasa kecewa dan penuh kepedihan di tatapan matanya. Aku tau orang itu bisa kapan saja melukai Win. Aku tau aku tidak bisa mempercayakan temanku yang berharga padanya. Aku tau semuanya, tapi apa yang bisa aku lakukan untuk menghentikan semua ini. Aku harus mencoba untuk mempercainya atau aku tidak akan pergi dari tempat ini. Aku memalingkan pandanganku dari Win, aku tidak bisa menatap Win saat aku menjawab ayahnya. “Aku akan melakukannya.”
“Bagus. Sekarang pergi dari rumahku!” Sambil mengarahkanku untuk keluar dari rumahnya dia meneriakiku.
Aku melihat kearah Win untuk terakhir kalinya dan aku perlahan-lahan melepaskan genggamannya dari tanganku. Aku berjalan ke dalam kegelapan, menjauh dari Win tanpa memandang kebelakang sedikitpun. Tapi jika aku melihat kebelakang itu hanya akan membuatku tidak sanggup melakukan semua ini. Setiap kali aku mendengar suara tangisnya saat aku keluar dari rumahnya membuat hatiku benar-benar remuk.
Aku masuk kedalam rumahku yang gelap, aku merasa tubuhku lemah dan aku bisa merasakan lututku menghempas kelantai. Air mata yang kucoba untuk kutahan sebelumnya keluar begitu saja dan aku tidak dapat menahannya lagi. Aku tidak tau berapa lama aku akan berada disini dalam kegelapan, tapi aku tau aku harus tetap kuat, aku harus tetap berdiri, mungkin saja Win sekarang sedang menunggu dibalik kaca jendelanya aku harus mencoba untuk menguatkan diriku.
Aku langsung berjalan masuk ke dalam kamar mandiku untuk membasuh wajahku dan menyesuaikan napasku. Di kaca itu aku bisa melihat wajah yang selalu bisa aku dilihat setiap saat, wajah yang penuh dengan kekecewaan. Aku menggelengkan kepalaku untuk membuang semua pikiran jelek itu.
Setelah aku merasa sudah cukup baik, aku langsung berjalan kearah jendela kamarku berharap aku bisa menemukannya. Seperti yang aku harapkan, Win sudah menungguku di balik jendelanya dan dia melambaim padaku. Aku merasa sangat lega saat itu dan aku tersenyum lebar padanya.
 "Kau tidak akan melakukan apa yang ayahku katakan bukan?"
 "Aku tidak akan pergi kemanapun"
  "Terima Kasih" "Kita Adalah Teman"

Win tersenyum padaku saat aku mengangkat papanku, tapi senyumannya terlihat ragu-ragu, dia menulis sesuatu disana tapi dia hanya duduk dan memandanginya. Saat dia sedang memikirkan sesuatu, aku pergi melepas pakaianku dan mengambil handukku. Udara terasa begitu dingin saat menerpa dadaku saat aku berdiri didepan jendela. Win pasti ingin menunjukan apa yang sudah dia tuliskan di papannya namun yang dia lakukan hanya meletakkannya. Aku mencoba mencuri perhatiannya, dan memberi aba-aba kalau aku mau pergi menggosok gigiku dan pergi tidur dan memberinya sebuah senyuman. Win membalas senyumanku dengan lembut dan dia mengangguk.
Setelah aku aku menggosok gigiku dan mandi, aku mematikan lampu kamarku dan naik keatas kasurku. Aku berpikir apa ada hal lain yang bisa aku lakukan, semua ingatan yang baru saja terjadi di rumah Win tidak bisa hilang dari kepalaku. Mengingat saat Win menggenggam tanganku dan melihatnya penuh dengan air mata. Aku saja masih bisa merasakan getaran tangannya saat itu.
Bagaimana bisa aku meninggalkannya sendirian? Bagaimana bisa aku pergi meninggalkannya begitu saja saat aku tau dia orang yang penting untukku? Walaupun aku sudah membuat pilihan terbaik untuk Winnie tapi aku tidak bisa memaafkan diriku yang meninggalkan Winnie begitu saja.
Aku menghadapkan diriku di samping bantal yang biasa Win gunakan saat dia menginap dirumahku. Aku mengambilnya dan memeluknya seerat mungkin, aku tidak dapat menahan air mataku. Namun aku tetap mencoba untuk menutup mataku.

“Aku minta maaf Mawin. Aku minta maaf sudah meninggalkanmu sendirian.” Aku berbicara sendiri dibalik bantal itu.

Terima kasih sudah membaca.

No comments:

Post a Comment