“Sampai berjumpa besok.” Win
berbicara sambil memandang ke arahku.
“Ya.” Saat aku ingin tersenyum
padanya, aku bisa melihat salah satu mata Win memerah dan aku menunjuknya. “Apa
yang terjadi pada matamu?”
“Aku tidak tau. Mungkin hanya
debu.” Dia mencoba menggosok matanya yang merah. Aku mengangkat tanganku dan ke
sentuh dengan lembut pipi kanannya, aku bisa merasakan kulit lembutnya dari
telapak tanganku, aku mencoba melihat matanya dan memastikan tidak ada salah.
Lalu aku mencoba lebih mendekat ke matanya, aku meniup matanya dengan lembut,
berharap ini bisa menghilangkan debu yang mungkin membuat matanya iritasi.
Matanya menyipit saat dia berdiri didepanku seperti patung.
“Win.” Suara dengan nada berat
tiba-tiba mengganggu kami dan kami bisa melihat Ayah Win sedang berdiri di
depan pintu rumahnya.
“Kenapa kau pulang malam sekali?!”
Suaranya terdengar kalau dia sedang marah.
“Aku barusaja melihat pemilihan
Band.” Win mencoba menjawabnya dengan tenang.
“Per, apa lagi-lagi itu kau?”
Kemarahan berubah mengarah kepadaku saat dia memandangku. Dan kembali ia
memandang Win. “Win cepat masuk. Kita harus bicara.”
“Apa kau mau aku menunggumu
disini?” Aku tidak menghiraukan ayahnya dan melihat ke arah Win.
“Tidak apa. Kau harus pulang
kerumah.” Win berusaha menyuruhku pulang dan ia tidak ingin memperlihatkan
ketakutanya padaku. Kami bisa melihat dimana ayah Win sedang dalam keadaan
tidak senang dan Win masuk kerumahnya.
Ketika Win sudah cukup dekat
dengannya, dia langsung memegang tangan Win dan menyeretnya masuk kedalam rumah
sambil menutup pintu. Win hanya memandangku dengan tatapan sedihnya saat dia
diperlakukan seperti itu oleh ayahnya. Aku tertinggal di belakang dalam
kegelapan, tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya terdiam kaku dan aku bisa
merasakan ketegangan yang terjadi di rumah Win dari suara yang kudengar. Sambil
melihat ke arah tembok rumahnya, aku tidak yakin dengan apa yang harus aku
lakukan. Apa aku harus tetap disini, walaupun Win menyuruhku untuk pergi?
Apakah aku harus melakukan apa yang Win katakan padaku? Bagaimana jika dia
membutuhkanku? Bagaimana jika dia mulai marah dan tidak akan berhenti?
Bagaimana jika….
“Bagaimana bisa kau melakukan
ini?!” Suara ayah Win semakin tinggi dan itu membuat semakin khawatir, dan
membuatku merasa amat takut.
“Ayah, tidak.” Win menangis diikuti
dengan dia meminta belas kasihan dari ayahnya.
“Bagaimana dengan pekerjaanku?” Di
setiap perkataan, aku bisa mendengar suara pukulan dan itu sudah pasti mengenai
satu orang. “Kau benar-benar cabul?! Semua itu foto siapa?! Aku menemukan
semuanya. Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?!”
Aku tidak bisa hanya berdiri dan mendengar semua itu. Aku tidak bisa hanya
berdiri mendengar Win rintihan Win, disaat aku tau apa yang ayahnya lakukan
padanya. Sambil meletakkan tasku di atas kotak pos, aku melompati pagar rumah
Win dan berlari ke arah pintu rumahnya. Yang bisa aku pikirkan sekarang
hanyalah pergi ke tempat dimana Win sekarang berada untuk menghentikan
kepedihanya. Aku langsung membuka pintu rumah Win, dan aku bisa melihat ayahnya
beberapa kali memukuli Win sambil memegang Win dengan tangannya.
“Ayah!” Sambil berdiri didepan Win,
aku mencoba untuk menjauhkan orang itu dari Win.
“Jangan memanggilku dengan sebutan
itu!” Ayah Win membentakku dengan keras. “Aku bukan ayahmu!”
“Baiklah, Paman.” Aku berdiri di
depan Win yang sedang menangis, Aku tidak peduli dia mau dipanggil apa tapi aku
mencoba untuk menghentikan semua ini. “Kau tidak berhak melakukan ini pada
Win.”
Mata ayah Win memerah saat dia
memandangku. “Apa kau tidak tau kalau semua ini terjadi karena kau?!”
“Aku?” Sekarang aku benar-benar
bingung. Apa yang sudah aku lakukan terhadap Winnie? Apa dia benar-benar
kehilangan akalnya? “Apa yang sudah aku perbuat?”
“Semuanya.” Dia menyalahkanku.
“Mulai sekarang sebaiknya kau menjauh dari Win!”
“Kenapa aku harus melakukannya?!
Dia temanku.” Aku tidak bermaksud berdalih padanya.
“Kau benar-benar tidak tau kalau
dia…” Win menghentikan perkataannya.
“Ayah, jangan!” Win mencoba
menghentikan ayahnya sambil menggelengkan kepalanya.
“Oh, jadi kau sekarang malu?
Bagaimana sebelumnya?!” Dia kembali mencoba untuk menggapai tangan Win.
“Paman, hentikan.!” Aku mencoba
menghalanginya. Dia tidak akan bisa menyentuh Win, aku tidak akan membiarkannya.
“Jika kau tidak berhenti, aku akan membawanya kerumahku!”
“Tidak bisa.”
Orang tua itu membantahku.
“Kenapa
tidak!?” Aku meneriakinya, karena aku tidak bisa lagi mengendalikan emosiku.
“Dia anakmu. Bagaimana bisa kau melakukan ini padanya?”
“Itu
urusanku.” Dia meneriaku.
“Win akan
bersamaku malam ini.” Aku menarik tangan Win, mencoba untuk membawa keluar dari
rumahnya.
“Hentikan.” Orang tua berjalan
menghalangiku, dia menghentikanku saat itu. Dan sambil menatap dia mencoba
membuat kesepakatan denganku. “Aku tidak akan memukulnya lagi… Tapi mulai saat
ini kau harus menjauh Win.”
Aku menatap kearah Win, aku bisa
melihat ketakutannya saat dia menggelengkan kepalanya padaku, sebuah tanda agar
aku tidak menyetujui permintaan ayahnya. Tangannya bergemetar ketika dia
megenggam tanganku, ia mencoba untuk mencari rasa aman dari aku. Setelah itu
aku kembali melihat kearah ayah Win, Win masih menggengam tanganku, dan mencoba
untuk tetap berada didekatku. Tapi aku sudah menentukan pilihanku.
“Baiklah, tapi paman harus berjanji
untuk tidak memukulnya lagi.” Saat mengatakan ini rasanya aku serpeti membunuh
diriku sendiri, tapi Win terus mencoba untuk dekat padaku. Jika aku menjauh
dari Win bisa membuatnya bebas dari siksaannya aku akan melakukannya.
“Baiklah.” Ayahnya menjawab setelah
dia beberapa menit berpikir, tapi dia terdengar tidak tulus saat mengatakan hal
itu. “Aku akan berjanji, tapi kau juga harus menjaga ucapanmu.”
Aku kembali melihat kearah Win, aku
bisa melihat wajahnya yang penuh dengan rasa kecewa dan penuh kepedihan di
tatapan matanya. Aku tau orang itu bisa kapan saja melukai Win. Aku tau aku
tidak bisa mempercayakan temanku yang berharga padanya. Aku tau semuanya, tapi
apa yang bisa aku lakukan untuk menghentikan semua ini. Aku harus mencoba untuk
mempercainya atau aku tidak akan pergi dari tempat ini. Aku memalingkan
pandanganku dari Win, aku tidak bisa menatap Win saat aku menjawab ayahnya.
“Aku akan melakukannya.”
“Bagus. Sekarang pergi dari
rumahku!” Sambil mengarahkanku untuk keluar dari rumahnya dia meneriakiku.
Aku melihat kearah Win untuk
terakhir kalinya dan aku perlahan-lahan melepaskan genggamannya dari tanganku.
Aku berjalan ke dalam kegelapan, menjauh dari Win tanpa memandang kebelakang
sedikitpun. Tapi jika aku melihat kebelakang itu hanya akan membuatku tidak
sanggup melakukan semua ini. Setiap kali aku mendengar suara tangisnya saat aku
keluar dari rumahnya membuat hatiku benar-benar remuk.
Aku masuk kedalam rumahku yang
gelap, aku merasa tubuhku lemah dan aku bisa merasakan lututku menghempas
kelantai. Air mata yang kucoba untuk kutahan sebelumnya keluar begitu saja dan
aku tidak dapat menahannya lagi. Aku tidak tau berapa lama aku akan berada
disini dalam kegelapan, tapi aku tau aku harus tetap kuat, aku harus tetap
berdiri, mungkin saja Win sekarang sedang menunggu dibalik kaca jendelanya aku harus
mencoba untuk menguatkan diriku.
Aku langsung berjalan masuk ke
dalam kamar mandiku untuk membasuh wajahku dan menyesuaikan napasku. Di kaca
itu aku bisa melihat wajah yang selalu bisa aku dilihat setiap saat, wajah yang
penuh dengan kekecewaan. Aku menggelengkan kepalaku untuk membuang semua
pikiran jelek itu.
Setelah aku merasa sudah cukup
baik, aku langsung berjalan kearah jendela kamarku berharap aku bisa
menemukannya. Seperti yang aku harapkan, Win sudah menungguku di balik
jendelanya dan dia melambaim padaku. Aku merasa sangat lega saat itu dan aku
tersenyum lebar padanya.
"Kau tidak akan melakukan apa yang ayahku katakan bukan?"
"Aku tidak akan pergi kemanapun"
Setelah aku aku menggosok gigiku
dan mandi, aku mematikan lampu kamarku dan naik keatas kasurku. Aku berpikir
apa ada hal lain yang bisa aku lakukan, semua ingatan yang baru saja terjadi di
rumah Win tidak bisa hilang dari kepalaku. Mengingat saat Win menggenggam
tanganku dan melihatnya penuh dengan air mata. Aku saja masih bisa merasakan
getaran tangannya saat itu.
Bagaimana bisa aku meninggalkannya
sendirian? Bagaimana bisa aku pergi meninggalkannya begitu saja saat aku tau
dia orang yang penting untukku? Walaupun aku sudah membuat pilihan terbaik
untuk Winnie tapi aku tidak bisa memaafkan diriku yang meninggalkan Winnie
begitu saja.
Aku menghadapkan diriku di samping
bantal yang biasa Win gunakan saat dia menginap dirumahku. Aku mengambilnya dan
memeluknya seerat mungkin, aku tidak dapat menahan air mataku. Namun aku tetap
mencoba untuk menutup mataku.
“Aku minta maaf Mawin. Aku minta
maaf sudah meninggalkanmu sendirian.” Aku berbicara sendiri dibalik bantal itu.
Terima kasih sudah membaca.
No comments:
Post a Comment