Monday 2 May 2016

"Love Story" by Nayaka Al-Gibran [Short Story]



Love Story 
By. Nayaka Al Gibran

CUAP2 NAYAKA

(Warning : pengantar ini mungkin akan panjang dan memuakkan, skip jika kalian ingin langsung ke cerita)

Salam…

Aku ingin sedikit memberikan pencerahan kepada beberapa orang di antara kalian yang kebetulan mungkin―hanya jika mungkin―agak kesulitan memberi batas bagi diri sendiri untuk satu dan dua hal yang seharusnya diberi batas jelas. Tunggu, ini agaknya tak patut dikatakan sebagai sebuah pencerahan mengingat aku bukan filsuf atau ahli sufi, tapi… yah, katakan saja ini adalah, luapan kejengkelan yang mungkin bisa mempengaruhi anggapan kalian terhadap seorang Nayaka Al Gibran yang tidak hanya menjadi Nayaka Al Gibran sepanjang waktu seumur hidupnya. Biar kuulang, Nayaka Al Gibran yang tidak hanya menjadi Nayaka Al Gibran sepanjang waktu seumur hidupnya. Sekali lagi, SEPANJANG WAKTU SEUMUR HIDUPNYA.

Sebelumnya aku minta maaf. Ini khusus PLU dan teman-teman bukan PLU yang sudah kadung punya identitas ganda gara-gara iseng tertarik sama dunia PLU. Maaf, karena aku harus bertanya : apakah ada di antara kalian yang tidak bisa mengetahui siapa diri kalian ketika sedang berada di jagat internet dan siapa diri kalian ketika sign out dari dunia internet dan melihat perbedaan di antara keduanya? Untuk lebih jelasnya, biar kucontohkan pada diriku sendiri. Aku adalah Nayaka Al Gibran dengan segala ketidakjelasan dan keanehan yang dimilikinya ketika aku berada di dunia maya, dan Aku adalah manusia biasa yang punya orang tua punya aktivitas dan memiliki kehidupan sosial plus satu atau dua masalah pelik dengan segala keterbatasan dan kekuranganku ketika berada di luar dunia maya, dan aku bisa merasakan perbedaan di antara keduanya. Ada yang belum bisa menjawab pertanyaan di atas buat diri sendiri? Jika ada, e-mail aku!

Selanjutnya, untuk sekedar mengingatkan barangkali kalian lupa jika aku pernah dan sering berkoar-koar tentang ini. Penting untuk diketahui bahwa, AKU BUKAN SEORANG PENULIS, aku hanya satu di antara sekian banyak orang di semesta ini yang kebetulan hobi menulis. Penulis adalah mereka yang menjadikan menulis sebagai pekerjaan, sebagai sebuah profesi (semoga kalian paham makna kata ‘pekerjaan’ dan kata ‘profesi’, jika tidak, cari saja di KBBI), mereka menulis nyaris sepanjang waktu, dan tulisan yang mereka hasilkan hampir selalu bagus dan jarang membuat kecewa, satu lagi, mereka dibayar untuk pekerjaan mereka. Lalu, apa bedanya dengan mereka yang hobi nulis? Lihat bedanya padaku, pada tulisan-tulisanku, juga pada ritme blogku. Kelihatan? E-mail aku juga jika belum kelihatan.

Mungkin kalian akan paham setelah membaca contoh berikut ini :

Salah seorang kakak laki-lakiku berprofesi sebagai mekanik. Selama enam hari dalam seminggu dia bekerja di bengkel motor dengan segala peralatan perbengkelan dan tentu saja, seragam mekaniknya. Kakak laki-lakiku ini hobi memancing, memancing dalam arti sebenarnya yang melibatkan mata kail dan ikan, bukan memancing perhatian apalagi memancing keributan (omong-omong, orang macam apa yang punya hobi memancing keributan?). Kadang di akhir pekan, jika benar-benar punya waktu dan mood memancingnya sedang on, dia akan menyiapkan pancingan dan menggali cacing sebagai umpan. Ide utama pertama : dari senin hingga Sabtu kakakku adalah mekanik dan nyaris setiap hari dia memperbaiki motor yang bermasalah. Ide utama kedua : di hari Minggu kakakku kadang menyalurkan hobi memancingnya dan itu bukan berarti kalau dia akan memancing di setiap hari Minggu.

Sudah kelihatankah?

Dan semua kalimat-kalimat di atas berawal dari segelintir keluhan yang kuterima mengenai blogku yang jarang ‘diperbarui’, tulisan yang jarang disambung, dan permintaan yang terlalu menuntut. Perlu untuk diingat, blog ini adalah wadah untukku menyalurkan hobi (untuk lebih paham kalimat yang kugarisbawahi ini, lihat ceritaku tentang kakak laki-lakiku di atas).

Jujur, Teman… ada masa dimana aku begitu senang mendapatkan perhatian sebanyak itu dari kalian, aku senang, sungguh. Tapi mohonlah mengerti aku, aku tidak sepanjang waktu menjadi Nayaka Al Gibran. Aku punya kehidupan yang membutuhkan perhatianku jauh lebih besar, yang menyita waktuku jauh lebih banyak, yang walau tidak begitu menarik tetap harus kudahulukan segala sesuatu yang ada di dalamnya, yang harus kutemukan jalan keluar untuk setiap masalah yang timbul, yang kadang-kadang butuh waktu bagiku untuk memanjakan diri dan diam tanpa melakukan satu aktivitaspun, yang selama menjalaninya aku bisa saja jatuh sakit yang membutuhkan istirahat dan tentu bisa mati, dll, dsb, dst.

Berkata begini, bukan berarti aku tak suka kalian bertanya tentang blog dan tulisanku kepadaku, seperti yang kukatakan tadi, aku senang―dan aku bersungguh-sungguh ketika mengatakan ‘aku senang’. Namun ada masanya juga dimana semua itu benar-benar membuatku gerah. Maaf jika aku harus kasar, kesannya seakan kalian tidak tahu berterima kasih (Tuhan tahu betapa aku tak ingin mengetikkan kalimat itu). Rasanya bagai aku dirong-rong dan dipaksa-paksa, diatur-atur, dan aku benci dipaksa apalagi kalau sampai diatur-atur. Aku menulis kapan aku suka, aku apdet kapan aku mau, aku menulis sekuel untuk cerita apapun sesukaku dan semauku.

Aku tak ingin menyombong, juga tidak sedang main hitung-hitungan. Aku sangat sadar diri kalau tak ada yang pantas disombongkan dariku, dan hitung-hitungan mungkin malah akan membuat kalian memandangku yang kalau diterjemahkan dengan kata-kata akan berbunyi tak jauh-jauh dari : memangnya siapa kau pikir dirimu?. Namun, aku ingin kalian tetap menjawab pertanyaan ini dengan hati : berapa lama kalian sudah kenal tulisan-tulisan Nayaka Al Gibran? Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu? Dan apa yang telah didapatkan Nayaka Al Gibran selama kalian mengenal tulisannya? Pujian, kritikan, surat bejibun di inbox akun gmail, satu dua follower tambahan di twitter, atau popularitas di kalangan PLU? Lalu, berapa banyak tulisan Nayaka Al Gibran yang telah kalian baca? Satu judul cerbung, dua judul cerpen, atau tiga oneshoot bersekuel?

Jika kalian baru mengenal tulisan Nayaka Al Gibran sehari, abaikan aku. Jika kalian pikir aku maruk pujian, kalian salah karena aku lebih suka dikritik secara cerdas (harap beri perhatian lebih pada kata ‘cerdas’). Jika kalian pikir aku butuh difollow lebih banyak orang, kukatakan : bagiku tak ada bedanya punya sedikit atau banyak follower di sana, dan followerku juga masih hitungan jari, jadi apa yang bisa kubanggakan? Tak ada.

Aku palsu, Nayaka Al Gibran secara teknis tidak benar-benar ada, dia hanya sebuah identitas kedua, jika begitu, apa pentingnya sebuah kepopuleran bagimu jika pada dasarnya kamu tak pernah exist untuk menikmati dan membangga-banggakan popularitas itu secara nyata? Sungguh, jawabannya adalah TIDAK PENTING. Oh hell… bahkan Nayaka Al Gibran sama sekali jauh dari kata popular, dan dia sadar itu. Dan terimakasih buat yang sudah membaca satu cerbung, dua judul cerpen dan atau tiga oneshoot bersekuel yang ditulis Nayaka Al Gibran bila kalian benar-benar bisa menikmati saat membacanya lalu dalam hati mengucapkan terimakasih tulus buatnya.

Maafkan atas segala kata yang kurang berkenan di dalam baris-baris di atas, karena sekali lagi, Nayaka Al Gibran hanyalah manusia biasa jua. Harapanku, semoga aku mendapatkan pemakluman jika ke depannya blog ini kian jarang apdet. Dan aku juga akan maklum jika setelah membaca pengantar ini, sebagian besar dari kalian mungkin akan ilfil pada Nayaka Al Gibran dan lalu berhenti mengunjungi blognya, tak mengapa bagiku. Dikunjungi atau tanpa dikunjungi kalian pun, aku akan tetap menyukai menulis dan menempatkan tulisanku di sini, dibaca atau tidak dibaca, tak akan berpengaruh banyak. Menulis hanya hobi, kan? J

Last, buat kalian yang masih sudi melihatku meski setelah kukasari lewat paragraf-paragraf di atas, kupikir kali ini kalian benar-benar akan bisa menikmati membaca LOVE STORY seperti aku menikmati ketika menulisnya. Kenapa? Karena menurutku pribadi, ini semestinya akan jadi salah satu masterpiceku, aku sendiri jatuh cinta pada setiap karakter yang kubuat di sini, dan aku sudah mengerahkan semua kemampuanku, sepertinya. Jadi kupikir, tak ada alasan buat kalian untuk tidak membacanya lalu menikmatinya.

Terimakasih

Love and peace

Wassalam.

n.a.g

##################################################



Karena matahari selalu terbit di timur lalu tenggelam di barat

Karena fajar selalu merah sedang senja selalu jingga

Karena lolongan serigala dan bulan purnama adalah sejoli alam

Karena hujan butuh mendung untuk menjadikannya lumrah

Karena Agamemnon perlu Achilles untuk menaklukkan pantai Troya

Karena setiap pengembara pasti punya rumah untuk kembali pulang

Karena semesta pasti tak seimbang jika aku dan kamu tak bersama…

―Marius, dalam Karena

***

PROLOGUE

Setiap orang punya kisah cintanya masing-masing. Well, kalimat itu rasanya terlalu universal. Biar kupersempit. Setiap orang dewasa yang pernah dan masih hidup―jika mereka tidak menjomblo sejak pubertas pertama hingga ajal menjemput―pasti punya kisah cinta mereka sendiri. Ibuku punya, kisah cintanya dimulai ketika bertemu seorang pria yang menghasilkan kepakan sayap kupu-kupu di perutnya saat magang di sebuah perusahaan di jantung ibukota. Ayahku juga punya, kisah cintanya yang paling fenomenal dan berakibat fatal pada status Lajang Paling Dicari miliknya dimulai ketika dirinya terpesona pada karyawati magang di perusahaan ayahnya, langsung saat menginterviewnya. So klise. Intinya, mereka punya kisah cinta milik mereka sendiri.

Marius―my beloved brother―juga baru mengawali kisah cintanya empat bulan yang lalu dengan cewek bernama Cinderella (aku berani bersumpah kalau namanya beneran Cinderella. Ya ya ya, aku juga terpingkal saat pertama kali Marius memberitahukannya padaku. Seperti kalian, aku juga bertanya-tanya : apakah Marius merasa dirinya jadi Pangeran karena jatuh cinta pada seorang Cinderella? Misteri ini hanya bisa dijawab Marius). Adikku satu-satunya itu berandalan sejati di satu sisi dan di satu sisi lainnya―yang mungkin hanya terlihat olehku―dia juga saudara yang peduli. Ini kukatakan bukan karena dia selalu jadi sekutuku paling setia dalam banyak hal di rumah, tapi lebih karena dialah satu-satunya orang di rumah yang bersikap masa bodoh pada status lajangku yang sudah beberapa kali jatuh tempo. Setiap kisah cinta punya awal, dan kisah cinta Marius juga tentu saja punya awal. Jika ibu dan ayahku memiliki awal kisah cinta yang klise, punya Marius lebih klise lagi, bahkan agak-agak memalukan menurutku.

Kisah cinta Marius berawal di satu food court. Jadi, saat itu ayahku baru saja membekukan kartu kredit Marius untuk mencegah adikku itu boros-borosan secara membabi buta dan tak terkendali. Hari dia mengantri di food court itu, kurasa dia lupa memeriksa keadaan dompetnya terlebih dahulu, tapi yang pasti bukan karena dia lupa jika kartu kreditnya tidak bisa digesek karena ayahku sudah mewarningnya beberapa hari sebelum itu. Saat nampannya sudah full terisi, dia kelabakan karena uang cashnya tak cukup tujuh ribu lima ratus perak untuk membayar makanannya. Ketika pramusaji di konter mengembalikan kartu kreditnya, saat itulah kisah cinta Marius dimulai.

‘Pakai uangku saja, Kak…’

Marius jatuh cinta pada cewek SMA yang membayar kekurangan tujuh ribu lima ratus perak untuk nampannya, begitu pengakuannya saat dia bercerita padaku. Well, aku bisa menerka-nerka alasan mengapa cewek SMA itu mau merelakan jajannya untuk menambal kekurangan harga nampan Marius, kurasa itu bukanlah karena si cewek adalah anak soleha yang dermawan luar biasa, tapi karena si cewek yang tepat berdiri di balik punggung Marius itu tak kuasa menolak pesona kejangkungan dan keatletisan dari sosok adikku, tidak jika mereka berada dalam jarak sedekat itu. Jadi ya, tentu saja karena itu.

Dalam Titanic―yeah, Titanic, Rose Bukater memiliki kisah cinta yang begitu tragis dan menyedihkan. Meski demikian, kisah cintanya tetaplah luar biasa―aku bersungguh-sungguh ketika mengatakan kisah cintanya luar biasa―hingga meski Titanic sudah tertinggal begitu jauh di belakang, kisah cinta di dalamnya selalu membuat siapapun terhenyak lama di hujung film―setidaknya begitu yang selalu kualami. Bayangkan jika Jack Dawson tidak memenangkan taruhan, bayangkan jika Rose Bukater tidak hendak mengakhiri hidupnya malam itu di hadapan Jack. Mungkin baik Jack maupun Rose tidak akan pernah mengalami kisah cinta yang sungguh-sungguh kisah cinta selama hidup mereka. Rose akan terjebak bersama pria membosankan seumur hidup dalam pernikahan yang tidak diinginkannya, dan Jack tak akan pernah merasakan betapa mencintai wanita luar biasa seperti Rose bisa membuatnya bahagia dan berarti selama menjalani hidupnya yang singkat.

Setiap orang punya kisah cinta masing-masing. Jika hingga hari ini kau belum punya, jangan berkecil hati, mungkin itu akan dimulai esok saat kau tak sengaja tertidur di bahu seseorang dalam sebuah perjalanan, atau lusa saat kau membunuh waktu luang dengan satu cup milkshake di sebuah taman dimana seseorang juga sedang membunuh waktu luangnya di sana, atau minggu depan di wedding party sahabatmu dimana seseorang juga sedang menjadi tamu undangan. Yang ingin kukatakan adalah, tak peduli kapanpun hal itu terjadi, jika kau memang pantas mendapatkan seseorang, maka Tuhan akan memperjalankan seseorang itu menujumu.

Pertanyaannya, seberapa pantaskah kita?

Nah, pertanyaan sialan itulah yang hingga kini masih belum bisa kujawab, bahkan untuk diriku sendiri. Dan lebih sialan lagi, aku mulai merasa jika diriku tak cukup pantas untuk memiliki seseorang dan menulis kisah cinta yang sungguh-sungguh kisah cinta dengannya, yang setiap detilnya begitu memorable, diingat hingga tua dan ompong, diceritakan kembali pada generasi berikutnya, dikenang hingga mati. Sepertinya, ‘setiap orang punya kisah cintanya masing-masing’ tidak berlaku buatku. Atau, sejak awal ‘setiap orang punya punya kisah cintanya masing-masing’ memang tidak diperuntukkan buat kaum minoritas? Oh, baiklah, dunia ini memang dipenuhi oleh orang-orang egois, kaum mayoritas yang egois, hingga sebuah ungkapan pun dilegal dan di-ilegal-kan untuk satu golongan terhadap golongan lainnya, legal buat mereka dan ilegal buatku dan kawan-kawanku di luar sana.

Namun aku tak bisa berhenti mendambakannya. Tak peduli apapun status seksualku, tak peduli setua apapun usiaku, tak peduli kapanpun hal itu terjadi, jika aku memang pantas mendapatkan seseorang, maka Tuhan akan memperjalankan seseorang itu menujuku. Aku hanya perlu bersabar hingga kisah cintaku dimulai, lalu akan kutulis kisah cinta milikku sendiri, seperti ayah dan ibuku menulisnya, seperti Marius Al Farisi dan Cewek SMA Yang Namanya Seklasik Dongeng Cinderella juga menulisnya, seperti sutradara Titanic menulis kisah cinta Jack Dawson dan Rose Bukater. Bisa saja, mengapa hingga sekarang aku belum bertemu seseorang untuk menjalani kisah cinta dengannya bukan karena aku tak cukup pantas, melainkan belum ada seseorang yang cukup pantas untukku. Bisa saja, saat ini Tuhan sedang melempar dadu untuk memilih seseorang yang lebih dari sekedar pantas untuk diperjalankan-Nya menujuku…

***

Hal terakhir yang diinginkan Miqdad Al Kausar hari ini setelah bertubi-tubi kejadian tak mengenakkan dialaminya sepanjang hari di kantor adalah : diusik anak ingusan saat coffee time yang seharusnya menjadi jeda singkat untuk merileksasikan seluruh ketegangan di ototnya dan nyut-nyutan di kepalanya sebelum pulang ke rumah. Sebenarnya, anak ini tidak sepenuhnya ingusan―bahkan mungkin selama hidupnya dia tak pernah melewati fase dimana ingus membentuk dua garis vertikal di bawah lubang hidungnya. Anak ini sudah remaja, dan tampak demikian bugar dan sehat, begitu bugar dan sehatnya hingga dia bisa disebut sebagai remaja paling bugar dan sehat di zaman ini. Satu-satunya hal―tidak, bukan satu, tapi dua―yang tampak tidak ‘sehat’ pada sosoknya adalah seragam abu-abunya yang kusut dan kumal dan juga rambutnya yang bagai baru saja diamuk beliung, seolah-olah badai Katrina baru saja lewat sejengkal di atas kepalanya. Tapi Miqdad sedang mengalami hari yang buruk hingga yang terlihat tidak sehat pada sosok si anak bukan hanya dua hal itu, melainkan seluruh sosok si anak adalah ketidaksehatan buatnya.

“Sore, Om…”

Nyut-nyutan di kepala Miqdad kini tidak hanya di kepala, tapi mulai menyebar hingga ke ujung jempol kakinya kiri dan kanan, matanya mendelik garang pada si anak. Ketika tanpa rasa bersalah anak di depannya malah memamerkan senyum miring buatnya, ingin saja Miqdad mencabut tiang kanopi yang menaungi kursi tempat duduknya sekarang dan menghantamkannya ke wajah tanpa dosa si anak.

“Sambil nunggu kopinya datang, mungkin Om mau dengerin dua atau tiga lagu dulu yang akan saya nyanyikan?” Si anak mencondongkan badannya dan mengusik senar gitarnya satu kali.

“Gak,” jawab Miqdad sambil melengos dan berharap anak di depannya segera pindah ke kanopi yang lain.

“Kalau gitu dua deh.”

“Gak.”

“Satu aja deh, Om, ya?”

“Gak.”

“Reffreinnya aja deh.”

Miqdad hilang sabar. Jika tadi nyut-nyutan di kepalanya menyebar hingga ke jempol kaki karena dipanggil Om, sekarang ditambah kengototan si anak Miqdad kembali tersadar pada nyeri kuat di pergelangan kaki kirinya. Anak ini membuatnya makin merasakan efek keseleo yang dialaminya ketika tergesa-gesa turun tangga saat di kantor tadi.

“Saya bilang enggak,” kata Miqdad dengan nada tegas yang biasa diperdengarkannya saat menghadapi bawahannya di kantor.

Untuk sejenak, si anak tampak berpikir, masih belum beranjak pergi. Lalu tenang saja dia menarik kursi di depan Miqdad dan mendudukkan bokongnya di sana. Dia tak menghiraukan pandangan membunuh dari pria di depannya. Si anak menyandarkan gitarnya begitu saja lalu menjalin kedua jemarinya sebelum meluruskan tangan di atas meja dan lalu memandang serius pada Miqdad.

“Apa!?” kata tanya ini keluar lebih sebagai bentakan garang ketimbang pertanyaan dari mulut Miqdad.

“Om pernah ditolak?”

“Aku bukan suami tantemu!”

“Kamu pernah ditolak?”

Dalam kesal, Miqdad juga kaget mendapati perubahan gaya bicara si anak. Jika tadi si anak bicara dengan nada dan kalimat yang begitu rendah dan sopan, kini dia bicara seolah-olah Miqdad tidak lebih tua darinya. Dalam kagetnya, Miqdad hanya melongo.

“Sepanjang sore ini, aku sudah ditolak berkali-kali. Dan itu menyebalkan, kalau kamu pernah ditolak, kamu pasti tau kalau rasanya benar-benar menyebalkan. Padahal aku hanya butuh dua menit, atau tiga menit. Apa susahnya sih merelakan waktu segitu untuk orang sepertiku?”

Miqdad menelan ludah.

“Sekarang, kamu juga menolakku. Tunggu sebentar, biar kuhitung…” Si anak melerai jalinan jemarinya dan mulai berhitung. “Kamu tau,” lanjutnya setelah selesai mengira-ngira, “kamu adalah orang ke dua puluh satu sore ini yang menolakku.” Dia mempentangkan kedua tangannya di depan Miqdad. “Bahkan aku kehabisan semua jari yang kumiliki untuk menghitungnya, jari kakiku pun sudah tak cukup lagi.” Lalu dia menunjuk ke satu kanopi di mana sepasang pemuda dan pemudi sedang asyik pacaran. “Kalau aku ke sana, mereka juga pasti akan menolakku, bahkan jika aku menyanyikan lagu cinta paling romantis dengan suara paling merdu sekalipun mereka pasti akan mengusirku. Siapa yang ingin diganggu ketika sedang bermesraan kayak gitu?” Si anak mencondongkan badan ke arah Miqdad, tingkahnya seperti menunggu pria di depannya memberi jawaban. “Tak ada,” katanya setelah Miqdad hanya diam, “tak ada yang ingin diganggu ketika kita sedang bermesraan begitu. Dan itu wajar, Men… wajar.” Miqdad hendak bersuara ketika anak di depannya kembali buka mulut. “Sesaat tadi kulihat kamu datang sendiri, dan sekarang kamu tidak sedang bermesraan. Kupikir kamu jomblo yang sudah pernah ditolak dan tau rasanya ditolak hingga mustahil menolakku. Tapi lihat…” Si anak mempentangkan kedua lengan sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi, lalu dia kembali tersenyum miring. “Kamu menolakku, Men…!”

Pelayan datang―bertepatan dengan si anak yang menunduk mengambil gitarnya―dan langsung pergi lagi setelah meletakkan mug kopi milik Miqdad. Ketika si anak kembali duduk tegak dan terlihat siap pergi, Miqdad baru benar-benar memperhatikan sosok di depannya. Yang pertama kali diperhatikan Miqdad adalah baju seragam si anak yang tidak terkancing sempurna, memperlihatkan oblong putihnya yang berprint wajah Einstein. Terlihat Einstein seperti sedang mengejek Miqdad dengan menjulurkan lidahnya, seakan baru saja berkata ‘Kasian deh lu dikira jomblo sejati yang udah ditolak berkali-kali, sama anak kecil lagi… weeekkk’. Selain wajah Einstein, Miqdad juga menemukan penilaian lain : dada si anak cukup lebar untuk remaja seusianya. Lengan kemeja seragamnya yang memang sudah pendek dibuat kian pendek dengan digulung dua atau tiga gulungan yang tidak rapi, tumpang tindih dengan lengan oblong di dalamnya, menyuguhi Miqdad dengan pemandangan lain : bisep yang sudah terbentuk. Lalu Miqdad memperhatikan wajah dan langsung mendapatkan kesimpulan kalau pasti ada segolongan cewek di tempat si anak bersekolah yang mengidolakan wajahnya. Yang terakhir menjadi objek perhatian Miqdad dalam jeda singkat itu sebelum si anak meninggalkan kursinya adalah gitarnya.

“Sampai ketemu, Twenty One…”

“Hey, tunggu!” Miqdad merogoh dompetnya dan si anak malah mendengus.

“Oh, lihat… sekarang kamu malah merasa kasihan setelah mendengar kisah dua puluh satu penolakan yang sudah kualami sore ini dan berpikir kalau dengan memberiku uang maka kamu akan merasa lebih baik meski sudah menolakku?”

Miqdad tidak menemukan jawaban lain selain mengakui kalau ucapan anak di depannya begitu sesuai untuk dijadikan jawaban paling jujur. Memberi anak itu uang akan membuatnya merasa lebih baik karena sudah menolak, itulah yang memang sedang dipikirkan Miqdad. Pria ini hanya diam dengan dompet di tangan, bimbang antara melanjutkan merogoh dompetnya atau membiarkan anak itu pergi tanpa memberinya uang.

“Gak apa-apa, jangan merasa gak enak. Kamu bukan orang pertama kok yang nolak kunyanyikan. Lagipula, aku tidak pernah menerima sepeserpun uang untuk imbalan sesuatu yang tidak kulakukan.”

“Kamu bisa anggap aku pengecualian,” kata Miqdad dan mantap membuka dompetnya.

“Gak.”

“Kamu menolakku?” Miqdad menaikkan sebelah alisnya.

Anak di depan Miqdad yang sudah bersiap untuk pergi kembali memperlihatkan senyum miring. “Aku menerima imbalan dari mereka yang mendengarkanku menyanyi, jika tidak mendengarkan maka aku gak akan mengambil imbalan apapun dari mereka.”

Miqdad mati kutu. Sepertinya si anak sedang membalasnya. Tak menunggu respon Miqdad, anak itu balik badan dan mengambil langkah pertama untuk meninggalkan kanopi tempat Miqdad bernaung.

“Baiklah, aku berubah pikiran!” seru Miqdad untuk menghentikan gerak si anak dan merasakan kesenangan aneh ketika anak itu berbalik dan memfokuskan perhatian padanya. Miqdad menggerakkan tangannya sebagai isyarat menyuruh si anak kembali. “Aku mau mendengarkan satu lagu sambil mengopi…”

Si anak kembali mendekat. “Bagaimana kalau dua lagu?” tanyanya dengan mimik senang penuh kemenangan.

“Hanya jika aku suka.”

Sekarang dia melirik mug di depan Miqdad. “Kopinya masih mengepul, bagaimana kalau tiga lagu sambil menunggu kopinya tidak mendidih lagi?”

“Kamu mendengarkanku, hanya jika aku suka.”

Miqdad memperhatikan bagaimana jari-jari anak yang berdiri di depannya mengatur kekencangan senar dan merasa kagum sendiri, seakan mengatur kekencangan senar adalah pekerjaan yang butuh lebih banyak keahlian dibanding memetik senar itu sendiri. Atau memang begitu adanya? Miqdad tak paham apapun tentang gitar. “Oke, Om mau lagu apa?”

Miqdad naik darah lagi, namun alih-alih membentak si anak dia malah terdiam sambil menghembuskan napas panjang menanggapi gaya bicara dan kalimat anak di depannya yang kembali bernada rendah dan sopan.

Melihat kelakukan pria kantoran di depannya, si anak kembali memamerkan senyum miringnya. “Kenapa Om?”

“Stop manggil aku Om jika gak ingin kudinginkan kopi ini ke bajumu.”

“Oke, kamu mau lagu apa?”

Miqdad berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat keadaan playlistnya. “Adera, Lebih Indah mungkin…”

Si anak menjentikkan jarinya dan mulai memetik senarnya dengan irama yang gembira. “Saatku tenggelam dalam sendu, waktu pun enggan untuk berlalu, kuberjanji ‘tuk menutup pintu hatiku entah untuk siapapun itu…”

Selanjutnya, yang terjadi adalah, Miqdad terpaku di kursinya. Bahkan mungkin orang-orang di sekitar kanopi Miqdad, bahkan sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan di bawah kanopi nun jauh di sana juga bisa saja terpaku.

“Huu… dan kau hadir merubah segalanya menjadi lebih indah, kau bawa cintaku setinggi angkasa, membuatku merasa sempurna…”

Miqdad terpesona hingga penghujung lirik.

“Oke, berikutnya?” tanya si anak setelah menutup lirik Lebih Indah dengan jreng-jreng gitarnya pada kunci yang tepat.

“Apa ada yang bilang kalau suaramu bagus?”

“Ada.”

“Siapa?”

“Mamaku.”

Miqdad mengernyit. “Kamu memanggil ibumu Mama?”

“Iya. Ada yang salah dengan itu?”

Miqdad menggeleng. “Tak ada, hanya saja aku jarang bertemu pengamen yang memanggil ibunya dengan Mama, biasanya mereka manggil Emak atau Ibuk.”

“Well, aku manggil ibuku Mama.”

Miqdad mengangguk-anggguk dan sekali lagi memperhatikan sosok si anak. Kali ini pandangannya berhenti pada sepatu bootnya yang terlihat mahal.

“Lagu berikutnya apa?”

Miqdad berpikir lagi. “Heartache, mungkin…”

“One Ok Rock?”

“Iya.”

“Kenapa? Kamu sedang patah hati, sedang dilanda kepiluan atau baru saja diputusin?”

“Bukan urusanmu.”

Anak di depan Miqdad tertawa pendek. “Pantas saja kamu menyebalkan. Bad day, huh?”

“Kamu mendengarkanku, bukan urusanmu!”

“Yap, memang bukan urusanku,” jawabnya lalu mulai memetik senar. “So they say that time, takes away the pain but I’m still the same…”

Sekali lagi, Miqdad mendapati dirinya terbius. Pria ini terbius sepenuhnya pada suara lelaki si anak, pada caranya bernyanyi, pada caranya memperlakukan gitarnya, pada caranya menyentuh dan memetik senar-senar benda itu, pada sosoknya. Miqdad benar-benar terbius pada apapun yang ada pada sosok Pengamen Bersepatu Boot Mahal Yang Memanggil Ibunya Mama di depannya sekarang hingga dia lupa kapan terakhir kalinya dirinya terbius pada sesuatu dengan cara sehebat itu.

“So this is heartache? So this is heartache? Hiroi atsumeta koukai wa namida e to kawari oh baby…”

Miqdad tak sadar jika dirinya sudah tak berkedip begitu lama.

“So this is heartache? So This is heartache? Ano hi no kimi ne egao wa omoide ni kawaru, I miss you…”

Miqdad yakin sepenuhnya, anak di depannya ini bukanlah pengamen sembarangan. Belum pernah dia bertemu dengan pengamen yang mampu membuatnya lupa berkedip dan lupa mengatupkan rahang seperti yang sedang dilakkukannya sekarang.

“…I miss you, I miss you, I miss you, I miss you…”

Sekali lagi, not yang tepat menutup lagu kedua yang diminta Miqdad. Untuk sejenak, pria ini seakan menyadari kalau dia punya kulit. Lengannya meremang.

“Oke, last one?”

“Apa hanya ibumu yang bilang kalau suaramu bagus? Ah…” Miqdad menggerakkan lengannya di udara, “maksudku, mamamu.”

“Mungkin mbakku juga.”

“Papamu?”

“Oh, papaku mungkin sedang merumpikanku pada malaikat di surga sana.”

Miqdad terdiam dan merasa telah salah berucap.

Si anak melambaikan lengan di udara. “Gak usah masang tampang menyesal gitu, aku udah biasa tau. Ayo, lagu terakhir?” tanyanya.

“Terserah kamu.”

“Yakin?”

“Kamu mendengarkanku, terserah kamu.”

“Baiklah,” katanya dan jemari tangan kirinya kembali menemukan kunci baru. “I think that possibly, maybe I’m falling for you. Yes there’s a chance that I’ve fallen quite hard over you…”

Miqdad tak pernah tahu lagu yang dinyanyikan Pengamen Bersepatu Boot Mahal Yang Memanggil Ibunya Mama ini dengan suara pelan dan nyaris mendayu-dayu. Nadanya hampir rendah di semua lirik, bahkan cara dia menyanyikannya pun berbeda, bukan dengan suara yang dipakainya untuk menyanyikan dua lagu sebelumnya. Apa istilahnya, falsetto? Mungkin. Anak ini menyanyikannya dengan cara itu. Dan itu sama sekali tak jelek. Miqdad bahkan lebih terbius kini. Setiap liriknya seakan melewati membrane timpani miliknya lalu berdentang-dentang di dalam kepalanya. Seakan pesan dalam lagu itu khusus disampaikan buatnya.

“…if I didn’t know you I’d rather not know, if I couldn’t have you I’d rather be alone…”

Lirik itu membuat Miqdad gila. Maknanya masuk terlalu dalam ke kepalanya, tidak hanya berputar dan berdentang-dentang namun mengendap di serabut-serabut neuronnya. Di depannya, si anak sedang berusaha menyelesaikan bait penghabisan lagu yang belum pernah diketahui Miqdad itu, lagu yang sudah membuatnya menyesal sepenuhnya karena telah menolak si anak pada kesempatan pertama tadinya, lagu yang membuatnya mulai terusik pesona sosok si anak remaja yang sedang menyanyikannya.

Miqdad bertepuk tangan sendirian meski dia cukup yakin kalau bukan hanya dia seorang saja yang mendengarkan pengamen di depannya itu, tapi juga mereka di sekitar kanopinya.

“Kuanggap itu sebagai jawaban kalau aku gak salah pilih lagu terakhir,” tunjuknya pada telapak tangan Miqdad yang baru saja berhenti bertepuk.

“Aku gak tahu lagu itu, tapi sumpah, Nak… itu tadi sangat mengagumkan.”

“Falling In Love At A Coffee Shop, Landon Pigg, gak pernah dengar?”

Miqdad menggeleng.

“Sekarang kamu pernah.”

Untuk pertama kalinya Miqdad tertawa.

“Aku suka melihatmu tertawa.”

Dan Miqdad langsung terdiam dengan tampang bego.

“Dan sekarang kamu kembali ke ekspresimu lagi. Good…”

Miqdad tak tahu harus menjawab apa. Ini tidak biasa terjadi. Biasanya dia sangat tahu cara menghadapi ucapan apapun, dia biasa melakukan itu dalam pekerjaannya. Tapi kini dia kesulitan menanggapi ucapan seorang remaja belasan tahun yang masih berdiri sambil memeluk gitar di depannya. Ketika si anak berdeham, Miqdad tersadar dari kediamannya. Dia membuka dompet.

“Kamu ingin aku segera pergi, ya?”

Dan lagi-lagi Miqdad melongo.

“Kamu mau ngasih aku uang agar aku cepat-cepat pergi?”

“Kamu boleh duduk lagi jika kamu belum mau pergi.” Miqdad tidak tahu dari mana kalimat itu berasal, dia tak sempat berpikir ketika mengucapkannya. Kini, satu-satunya kursi yang kosong di bawah kanopinya kembali terisi. Dan Miqdad merasa dadanya berdebar.

“Jadi, mana jasmu?”

Miqdad menunduk ke dadanya, tidak dapat memastikan apakah yang ditunjuk si anak adalah kemeja warna merah muda pudar yang lengannya setengah digulung atau dasi warna coklat garis-garis putih yang hari ini dipakainya. “Kutinggalkan di mobil.” Si anak manggut-manggut lalu melirik mug di tengah-tengah meja. Miqdad menyadarinya. “Apa kamu menerima imbalan mengamenmu dengan hal lain selain uang?”

“Imbalan lain seperti dicium misalnya?”

Miqdad batuk-batuk sementara anak di depannya hanya tertawa. “Imbalan macam apa itu?” tanya Miqdad kemudian.

“Aku pernah dicium ibu-ibu kok.”

“He?”

“Iya. Katanya biar anaknya nurut cakep dan pinter nyanyi kayak aku.”

Sekarang Miqdad tertawa. “Kamu pernah dicium ibu-ibu yang sedang hamil sebagai imbalan mengamen?”

“Dia juga mendoakan hal baik buatku, sama ngasih burger juga.”

“Baiklah. Aku akan ngasih kamu kopi.”

“Tanpa ciuman?”

Miqdad bengong. Untuk sejenak dia hampir mengira kalau anak di depannya bertanya serius hingga si anak tertawa terbahak-bahak. “Sialan,” umpatnya lalu memanggil pelayan.

“Jadi, kamu punya nama?”

“Bahkan kucing piaraan saja punya nama, mengapa aku tidak?”

“Baiklah, kamu punya nama.”

“Ya, aku punya nama.”

“Dan?”

“Dan apa?”

“Dan namamu adalah?”

Miqdad harus mengakui kekurangajaran yang memesona pada diri siswa SMA di depannya. Dia sangat yakin kalau usia mereka terpaut sedikitnya sebelas atau dua belas tahun, tapi kini mereka terlibat percakapan seolah-olah rentang sebelas atau dua belas tahun itu tak pernah ada. Miqdad juga menyadari kalau sikap si anak lebih dewasa dari usianya, dan entah bagaimana itu mulai dirasa menyenangkan oleh Miqdad.

“Miqdad.” Si anak mengangguk-angguk. Pelayan menghampiri mereka. “Pesan saja terserah kamu,” kata Miqdad pada anak di depannya.

“Aku mau kopi kayak punya dia.”

Si pelayan mengangguk lalu pergi. Sedang Miqdad takjub pada cara anak yang duduk di depannya itu berbicara.

“Aku Zaki.”

“Ada huruf ce sebelum ka dan pake ye di akhir?”

“Enggak.”

“Zaki,” ucap Miqdad.

“Yap, tepat seperti itu. Tapi Mama suka memanggilku Zek.”

Miqdad mengangguk-anggukkan kepalanya. “Well, Zek, kamu tau mengapa sore ini orang-orang menolakmu?”

“Aku tau.”

Miqdad mengernyit. “Kamu tau?” tanyanya sambil mencondongkan badan.

“Iya. Mereka menolakku supaya kita bisa segera bertemu.” Ditutup dengan senyum miring itu lagi.

“Aku juga menolakmu, dan alasannya karena kamu pakai seragam sekolah untuk ngamen,” kata Miqdad setelah kesulitan menelan ludahnya beberapa detik sebagai efek kalimat mengagetkan Zek.

“Kamu memang harus melakukannya supaya kita bisa duduk berhadap-hadapan kayak gini sekarang. Kalau kamu gak nolak sejak awal, pasti aku sudah pergi sejak tadi-tadi,” tukas Zek sengaja mengabaikan perkataan Miqdad tentang seragamnya.

“Kamu peramal?”

“Aku pembaca pikiran.”

Miqdad kembali terkaget-kaget menemukan keseriusan di wajah Zek dan langsung berusaha mengosongkan pikirannya. Dia tidak mau ketangkap basah kalau baru saja sedetik tadi dirinya memikirkan betapa bibir anak di depannya adalah bentuk bibir paling jantan yang pernah dilihatnya sejauh ini. Miqdad tidak yakin kalau wajahnya tidak pucat sekarang. Ide bahwa Zek adalah seorang pembaca pikiran benar-benar masuk akal buatnya. Itukah mengapa di awal tadi dia menolak diberi uang dan berlagak hendak pergi? Bahkan dia menebak dengan benar alasan mengapa Miqdad sampai ingin memberinya uang tanpa perlu bernyanyi. Itu pasti karena dia sudah membaca pikirannya, bahwa dengan bertingkah demikian maka Miqdad pasti akan memanggilnya kembali. Ini bahaya.

“Ja… jadi, kamu tau apa yang sedang kupikirkan?”

“Tentu saja. Aku bisa membacanya kayak baca buku teks di sekolah.”

Sekarang Miqdad yakin-seyakin-yakinnya kalau wajahnya sudah pias.

“Kamu sedang berpikir untuk mengosongkan pikiranmu, kan?”

Oh Tuhan. Anak ini benar-benar seorang pembaca pikiran. Miqdad ketar-ketir di kursinya. Dia belum pernah terintimidasi siapapun seumur hidupnya, sesaat tadi sosok di depannya juga belum menakutinya dalam kadar yang sungguh-sungguh membuat takut. Tapi sekarang, Miqdad merasa ketakutan. Bagaimana kalau anak itu sampai tahu orientasi seksualnya? Tentu saja, dunia buatnya kiamat hari ini.

Pelayan datang membawa kopi milik Zek. Dan yang dilakukan Miqdad adalah mengambil kesempatannya untuk melarikan diri. Dia merogoh dompetnya, meletakkan selembar uang seratus ribu di atas meja dan berdiri dari kursi. Nyeri di pergelangan kaki kirinya kembali menyakiti dengan serta-merta saat dia sudah tegak. “Aku harus pulang, sudah terlalu sore. Senang ketemu kamu Zek, simpan saja kembaliannya untukmu…”

Miqdad mengambil satu langkah pertama dengan sedikit pincang, dan satu langkah berikutnya yang juga masih pincang. Lalu tawa kencang Zek mengagetkannya. Pada langkah ketiga, tawa Zek yang main kencang membuat pria ini harus berhenti dari berjalan pincang dan menoleh. Di kursinya, Zek terbahak hingga bahunya berguncang. Miqdad mengernyit heran.

“Jangan katakan kalau kamu sungguh-sungguh percaya kalau aku bisa membaca pikiran,” ucap Zek setelah tawanya reda.

Miqdad ingin membunuh anak itu. “Sialan!”

Zek bangun dan menunjuk kursi yang semula diduduki pria dewasa yang sudah berhasil dijailinya beberapa kali sejauh ini. Miqdad tak punya pilihan lain selain kembali duduk. Lagipula, kopi miliknya belum diminum seteguk pun. Zek memperhatikan saja ketika Miqdad terpincang-pincang kembali ke kursi. Saat Miqdad sudah duduk, Zek langsung berjongkok di depan kaki pria itu.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Miqdad kaget.

“Aku pernah aktif di Pramuka. Kakimu terkilir?” jawab Zek sambil memegang betis kiri Miqdad dengan tangan kiri sedang tangan kanannya sudah siap membuka sepatu Miqdad.

“Gak usah!” Miqdad berusaha menarik kakinya, tapi cengkeraman Zek di betisnya sungguh kuat, menariknya malah membuat rasa nyeri di pergelangan kakinya makin kentara. Jadi, Miqdad menyerah. Sementara Zek mulai melepas sepatunya, Miqdad memutar kepalanya dan mendapati beberapa pasang mata memandang sekilas ke mejanya.

“Jadi, mengapa kamu bisa sampai percaya kalau aku dapat membaca pikiran?” Zek berhasil melepas sepatu Miqdad.

Miqdad menunduk, Zek yang sedang berjongkok membuat Miqdad bisa melihat puncak kepala anak itu. Rambut Zek yang pada awal tadi terlihat berantakan dalam pandangan Miqdad kini malah memberi kesan lain : kondisi rambut Zek laki banget.

Tiba-tiba Zek mendongak.

Miqdad gelagapan untuk mengalihkan pandangannya. Dadanya kembali berdebar. Sesaat tadi mereka benar-benar beradu pandang untuk pertama kalinya.

Ini gila, apa yang terjadi padaku? Bagaimana aku bisa naksir pada bocah ingusan begini? Gila. Aku sudah gila.

Zek kembali tersenyum miring, tangan kanannya baru saja berhasil menarik kaus kaki Miqdad. “Kamu belum jawab pertanyaanku,” katanya lalu kembali menunduk. Sekarang dia mulai menggulung ujung celana kerja Miqdad.

“Bagaimana kamu bisa menebak kalau aku sedang mengosongkan pikiranku?”

Zek mendongak lagi dan terkekeh. “Jadi benar?”

“Bagaimana kamu bisa menebak setepat itu?”

Zek menggidikkan bahu. “Kupikir, itu yang bakal dilakukan orang-orang jika berhadapan dengan siapapun yang bisa baca pikiran. Aku juga akan mengosongkan pikiranku jika bertemu dengan apapun bentuk manusianya yang bisa membaca pikiran, terlebih lagi kalau dia orang asing. Kan?”

Sekarang Miqdad mengerti. Dia tidak bersuara lagi ketika Zek kembali memfokuskan perhatian pada kakinya. Miqdad merasakan telapak tangan kiri Zek pada telapak kakinya, membuatnya geli dan menekuk-nekuk jari kakinya. Tangan kanan Zek yang meraba pergelangan kaki kirinya dengan lembut membuat Miqdad merasa istimewa. Belum pernah ada satu orang pun yang memperlakukan kakinya seperti itu, Miqdad belum pernah terkilir sebelumnya.

“Di sini,” kata Zek sambil menekan bagian belakang pergelangan kaki Miqdad, sedikit dekat dengan mata kaki. “Apa sakit?” Zek mendongak.

Miqdad mengangguk.

“Kelihatan?”

Miqdad memfokuskan pandangan ke tumitnya dan dia bisa melihat kalau ada urat kebiru-biruan di bawah kulitnya di bagian yang ditunjuk Zek. “Iya. Aku gak tahu kalau akibatnya separah itu.”

Zek tertawa. “Ini tidak parah kok,” katanya sambil mengatur jari-jarinya di sekitar tumit Miqdad. “Aku bisa―”

“Akhh…!!!”

“Menganganinya dalam―”

Miqdad mengatupkan rahang.

“Sekejap.”

“F*ck…! Sakit gila…!!!”

Zek terkekeh sementara Miqdad nyaris berair mata menahan sakit. Ketika tangan Zek meninggalkan kakinya, Miqdad merasakan sensasi terbebas dari pasungan. Tak percaya, dia menekuk-nekuk telapak kakinya dan yakin kalau deritanya sudah tersembuhkan ketika tidak merasakan nyeri apapun. Dipandanginya Zek yang sudah kembali duduk di kursinya dengan tatapan takjub.

“Kamu hebat,” kata Miqdad sambil geleng-gelang kepala. “Tadinya aku sudah berencana untuk mengobati kakiku ke klinik Tong Fang.”

“Santai saja, kamu bisa berterima kasih nanti.”

Miqdad tertawa menyadari kalau anak itu sedang menyindirnya. “Trims…”

“Anything for you, Twenty One.”

“Kamu kebanyakan nonton film Hollywood.”

“Apa hubungannya?”

“Di sana anak-anak bicara sepertimu. Tak peduli lawan bicara mereka lebih tua bertahun-tahun, bahkan mereka bicara dengan orang tua sendiri layaknya teman sebaya.”

“Aku sudah mencoba bicara sopan denganmu dari awal, kamu marah kan?”

“Kamu memanggilku Om!”

Zek menelengkan kepala. “Lalu, apa aku harus manggil kamu Dik?”

Miqdad sadar percuma bicara pada anak di depannya. Jadi dia mengabaikan Zek dan mengangkat mug kopinya, dihabiskannya isi mug hingga tak bersisa. Kopi Miqdad sudah dingin karena terlalu lama terbiar. Zek melakukan hal yang sama, bedanya dia harus meniup-niup untuk mengosongkan mugnya.

Langit sudah temaram ketika pria kantoran dan remaja SMA itu meninggalkan kursi di bawah kanopi. Zek menolak uang kembalian yang disodorkan Miqdad padanya. “Sudah cukup dengan kopi, kok,” katanya, dan Miqdad tidak membantah. Namun saat dikiranya Zek tak memperhatikan, diam-diam Miqdad memasukkan uang itu melalui lubang di pertengahan bodi gitar milik Zek.

“Trims buat semuanya, buat lagunya, juga buat tangan Pramukanya.”

Zek memamerkan senyum miringnya lagi yang sudah mulai familiar bagi Miqdad. “Makasih buat kopinya, juga buat tidak menolakku untuk kedua kalinya setelah lagu pertama.”

Miqdad tersenyum, sejenak dia kebingungan bersikap dan bersuara, Zek masih di dekatnya, terlihat sama bingung dengannya. “Jadi,” ucap Miqdad kemudian, “sampai ketemu?”

“Iya, sampai ketemu,” ulang Zek.

Zek melintasi halaman menuju jalan raya sementara Miqdad berjalan mendekati mobilnya yang terpakir di satu sisi halaman kafé. Ketika hendak masuk ke balik kemudi, Miqdad menoleh Zek yang sedang bersiap-siap menyeberang jalan. Dia tak berpikir jauh ketika berteriak. “Hey, Kid…!!!” Zek batal menyeberang dan berbalik memandang Miqdad. “Biarkan aku mengantarmu…” dari kejauhan, Miqdad bisa melihat senyum miring Zek sedikit lebih miring lagi.

“Aku ingin menolak, tapi kupikir kamu pasti akan bersikeras. Jadi, ya, aku akan ke situ…!”

***

Kini Miqdad paham apa yang dirasakan adiknya ketika bertemu cewek SMA di gerai fastfood. Dia juga bisa memaklumi mengapa saat bercerita padanya sehari kemudian Marius terlihat begitu sumringah, begitu berseri-seri. Ternyata jatuh cinta efeknya memang begitu. Tapi, benarkah Miqdad tengah jatuh cinta? Pada siswa SMA yang usianya jauh di bawahnya? Tidakkah itu terdengar aneh? Tidak, itu bukan hanya aneh tapi juga mengerikan. Miqdad terpikir pada salah satu istilah paling horror yang diketahuinya tentang jenis hubungan semacam itu : pedophilia. Dirinya yang sedari awal memang sudah lain kini malah punya kelainan tambahan, menyukai anak yang lebih muda, begitu lebih muda untuk dijadikan pacarnya. Jelas ada sesuatu yang demikian salah dalam diri Miqdad.

Miqdad meninggalkan kursi kerjanya dan berjalan ke tingkap, berdiri di sana sambil memperhatikan cakrawala Jakarta di kala siang. Langit tampak biru bersih tanpa sebentuk awan pun. Cuacanya pasti begitu terik di luar sana.

Sudahkah Zek pulang sekolah?

Miqdad mencaci dirinya sendiri. Dia harus berhenti. Dia tidak boleh mengingat anak itu terus-terusan. Ini salah. Berapa usianya? Dua sembilan. Dan berapa usia Zek? Mungkin delapan belas. Ya, ini jelas salah.

Apa Zek datang ke kafé itu lagi?

Miqdad dilemma. Zek sudah memenuhi kepala Miqdad sejak dia menurunkan anak itu di depan gerbang sebuah rumah mewah kemarin petang. Zek sama sekali bukan berasal dari keluarga tak mampu, dia mengamen karena suka menyanyi dan mencintai gitarnya teramat sangat, dan dia menganggap pekerjaan mengamen sebagai sebuah petualangan, nyaris sebagai profesi di waktu luang. Intinya, anak itu tidak mengamen karena kekurangan uang. Dan mengetahui fakta itu malah membuat Miqdad semakin mengagumi Zek. Tapi, ya Tuhan, Miqdad… ini salah. Sekali lagi, SALAH!

Apa Zek juga sedang memikirkanku? Apa hari ini dia akan berusaha menemukanku di kafé yang kemarin? Apa dia sudah menemukan uang di dalam gitarnya? Bagaimana reaksinya ketika menemukan uang itu?

Miqdad sudah gila. Dia gusar dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Ditinggalkannya jendela dan kembali duduk di balik meja. Sesaat kemudian ponselnya berdering. Wajah tampan Marius terpampang di layar.

“Ada apa?”

“Pinjam uang, Miq. Bisa?”

Miqdad mendesah. Ini sudah mulai jadi semacam kebiasaan buruk Marius yang baru : ngutang. Sejak kartu kreditnya tak bisa dipakai, uang sakunya tak pernah cukup. Dan saat menjawab telpon tadi, Miqdad sudah menduga kalau adiknya akan pinjam uang lagi. Kalau setiap kehabisan uang Marius akan minta dia, apa bedanya punya kartu kredit dan tidak? Kalau sampai ayah dan ibunya tahu Miqdad sering ngasih uang ke Marius, Miqdad pasti diomeli. Kenyataannya, tanpa kartu kredit pun, Marius tetap bisa boros. Satu hal lagi, Marius selalu mengatasnamakan pinjaman setiap minta uang, padahal mereka berdua sama-sama tahu kalau itu sama sekali bukan pinjaman, itu adalah pemberian yang bisa dibilang dilakukan suka rela oleh Miqdad, Marius mustahil mengembalikannya. Kata-kata ‘pinjam’ cuma sebatas kata-kata saja.

“Miq?”

“Buat apa lagi, Ris?”

“Bayar uang kuliah.”

“Ya, boongin aja aku dan ini akan jadi kali terakhir kamu kupinjami!”

Di ujung sana Marius tertawa. “Oke, emm… Ella ulang taun. Aku mau beli kado dan ngajak dia makan malam.”

Miqdad kembali mendesah. “Kalau Ayah sampai tau aku sering minjemin kamu, aku bakal dimarahi.”

“Ayah sama Ibu gak bakal tau kalau kamu gak sengaja ngasih tau mereka.”

“Aku bakal bilang mereka jika kamu masih gak bisa ngatur keuanganmu mulai dari sekarang…”

“Oh ayolah, Miq… aku adikmu.”

Miqdad terdiam.

Marius juga diam beberapa saat sebelum kembali bicara. “Baiklah, aku janji bakal lebih bijak ngatur uang saku setelah ini.”

“Ini bukan pertama kalinya aku mendengar omongan semacam itu.”

Marius terkekeh. “Jadi, gak bakal ada pinjaman hari ini, ya?”

Miqdad tak menjawab.

“Baiklah, aku akan bikin kerincingan tutup botol lalu berdiri di simpang depan kantormu, mungkin rekan-rekan kerjamu bakal ngasih aku uang karena kakakku rekan kantor mereka. Kamu dapat bonus malu punya adik pengamen.”

Miqdad dengan serta merta teringat pada sosok Zek dan gitarnya. “Aku sama sekali gak malu punya adik pengamen, silakan mengamen saja jika kamu berani.”

“Jangan remehkan keberanian mahasiswa yang dompetnya sedang kosong, Brada…”

“Rekan-rekan kantorku gak ada yang kenal kamu, berdiri saja di simpang sana.”

“Sekretarismu kenal aku, dia sering menyambutku saat ke situ.”

“Hanya skretarisku.”

Marius menghembuskan napas lelah. “Miq, please… aku bakal gak enak sama Ella kalau ngebiarin ultahnya berlalu gitu aja.”

“Kalau dia beneran cinta kamu, dia akan memaklumi.”

“Aku akan datang ke situ dan masang tampang paling melas dan paling menyedihkan di depanmu. Kalau dengan begitu kamu masih belum mau minjemin, berarti wajar aja sampai sekarang kamu belum punya pacar. Hatimu sebeku salju ciptaan Elsa di Disney Frozen yang soundtracknya dinyanyiin Demi Lovato!”

Klik.

Miqdad tergigit lidahnya sendiri. Bukan karena Marius bawa-bawa Frozen lengkap dengan Demi Lovato segala dalam penutup kalimatnya, tapi itu karena tiga kata menyakitkan yang mengawali kalimat penutup Marius.

‘Hatimu sebeku salju…’

Itu sebuah tuduhan menyakitkan. Andai saja Miqdad bisa memberi tahu adiknya kalau saat ini keadaan hatinya begitu terbalik dari tuduhan tak benar itu. Andai saja usianya bukan dua sembilan dan Zek adalah seorang cewek, Miqdad tak hanya akan memberitahu Marius tentang keadaan hatinya, tapi dia akan mengabari seluruh jagat semesta.

*

Miqdad pamit pada Nilam setelah menitipkan amplop buat Marius pada sekretarisnya itu. Miqdad luluh setelah menimbang-nimbang, Marius pasti akan meminjam ke orang lain jika tak mendapatkan uang darinya. Dan pemikiran adiknya akan ditagih-tagih oleh orang asing benar-benar mengganggu Miqdad.

“Sebentar lagi adikku datang, kasih amplopnya sama dia. Kalau ada telepon untukku, alihkan ke ponselku.”

“Baik, Pak,” jawab Nilam setelah menerima amplop dari atasannya.

“Dan tolong suruh Bobby menyiram pot-pot di dekat jendela, bunganya nyaris kering.”

“Baik, Pak.”

“Tolong bereskan kertas kerja di meja juga buatku.”

“Akan saya lakukan,” jawab Nilam.

Miqdad menjinjing jasnya dan menuju elevator yang sempat bermasalah kemarin sore hingga harus membuat kakinya terkilir saat menuruni tangga. Di dalamnya, Miqdad terus berharap kalau akan menemukan Zek di kafé yang dikunjunginya kemarin.

Di mobil, Miqdad mendengarkan Adera, One Ok Rock dan Landon Pigg. Satu nama terakhir baru saja diunduhnya semalam. Sepanjang perjalanannya menuju kafé, tiga lagu itu terdengar berulang-ulang di dalam kendaraannya.

Miqdad berusaha agar bisa duduk di meja yang sama. Jadi ketika dua orang pengunjung meninggalkan meja itu, tanpa menunggu pelayan membereskan gelas dan piring saji Miqdad segera menuju mejanya dan memesan segelas besar espresso dan es pada sang pelayan.

Mata Miqdad tercari-cari ke seluruh penjuru kafe selama dia di sana dan ragu-ragu jika dirinya datang terlalu cepat. Aktivitas itu sempat terjeda ketika ponselnya bersuara. Marius kembali menelepon. Miqdad mengabaikannya hingga deringnya usai. Pria itu tetap tak mau menjawab saat dering berikutnya mengikuti. Espressonya datang ketika nada pesan aplikasi LINE di ponselnya berbunyi. Miqdad tahu kalau....

1 comment:

  1. Maaf, saya kenal Nayaka dan sering kontakan, kamu post ulang ceritanya di sini apa sudah ijin darinya? Jangan asal comot terus publis ulang lho. Meskipun kamu cantumin kreditnya, kalau belum ijin tetap aja gak boleh. Maaf. Saya hanya teman yang peduli pada karya² teman saya Nayaka.

    ReplyDelete