Saturday 14 November 2015

Chapter 8: Truth & Lies (Part 1)

--- WARNING: Cerita ini mengandung kata-kata kasar ---


 “Kau tau dari mana kalau dia mencintaiku?” Sambil memainkan gitarku, aku bernyanyi dengan lembut untuk orang yang sedang berdiri disampingku yang mana dia sedang mencoba untuk menangkap sebuah kunang-kunang diluar jendela rumahku. Cahaya dari lampu mejaku terpancar mengenai kulit lembutnya dan dengan lumbut tangannya menggapai bunga-bunga yang ada di depannya.
“Gunakanlah perasaanmu.” Karena Win terlalu fokus dengan kunang-kunangnya, Win tidak sedikitpun memperhatikanku. Apakah benar aku iri pada serangga?
“Bagaimana kau bisa tau kalau dia itu miliknya?” Dengan nada terakhir yang tinggi, aku mencoba berteriak tidak karuan, mencoba untuk mencari perhatian Win. Dan mungkin ini bisa berhasil.
“Tolong hentikan.” Dan akhirnya dia memandang kearahku, memberiku sebuah senyuman. “Ini memalukan.”
Aku menjatuhkan kepalaku karena kata-katanya. Mungkin dia tidak menyukai nyanyianku tapi setidakya aku sudah mendapatkan senyumannya. Aku menang.
Tiba-tiba handphone Win berdering sangat kencang, dengan segera dia mengambilnya dari saku celananya dan melihat pesan yang diterimanya. Dia membalas pesan singkat itu dan langsung memasukkannya kembali ke sakunya setelah membalas pesan tersebut. Sambil memegang lenganku, dia berjalan menjauh dari jendela, menarikku bersamanya.
“Tadi itu P’Tam.” Win memasukkan buku-buku dan kertas-kertasnya kembali ke tas sekolahnya. “Ibu dan ayahku sedang dalam perjalan pulang.”
“Oh!” Sejak ayah Win tidak memperbolehkanku untuk menemuinya, kami jarang sekali bisa menghabiskan waktu untuk bersama. Bahkan dia menjemput Win pulang dari sekolah. Sore ini kedua orang tua Win pergi kesuatu tempat. Tapi syukurlah, pembantunya P’Tam, mau membantu kami. Dia sangat mengerti keadaan kami sejak kami kecil.
“Sampai bertemu di sekolah Pepper.” Sambil melambaikan tanganku, Win dengan segera berlari keluar melewati pintu menginggalkanku dibelakang.
“Sampai jumpa, Mawin.” Aku tidak yakin dia bisa mendengarku.
………….
Para finalis kompetisi band akan diumumkan siang ini. P’Ohm memberiku list band yang berhasil untuk ditempel di luar ruangan klub. Saat aku memasangnya, aku baru sadar kalau ada nama Band ku di dalamnya. Aku tidak sabar untuk memberitahu Win. Dia akan terkejut.
P’Noh datang mendekatiku dan bersandar di dinding, sambil mencoba untuk melihatnya. Aku melangkah mundur untuk memberinya ruang dan dia melangkah mendekati kertas itu. Sebuah senyuman muncul dari wajahnya dan aku bisa tau apa penyebabnya. Band Mafia hampir menduduki peringkat teratas, dan itu bearti sekertaris OSIS ini berhasil.
“Kenapa kau tersenyum, P’Noh?” Sambil medekat kearahnya, aku mencoba melihat wajahnya lebih dekat.
“Huh? Tidak ada apa-apa.” P’Noh menjawabku dengan cepat, senyumannya sedikit memudar. Sekali lagi dia melihat ke list, senyumannya kembali dan dia berjalan pergi.
“Kau mau kemana?” Aku sengaja bertanya padanya, walaupun aku tau dia mau pergi kemana… Maksudku dia akan menemui seseorang. Aku tidak tau kenapa, dia sedang dengan seseorang diluar sana dan ia seperti sedang dalam keadaan mood yang buruk. Mungkin saja. “Mau baikan dengan P’Phun?”
“Tidak, aku hanya ingin memberitahunya kalau bandnya berhasil.” P’Noh menjawabku tanpa berpikir lagi. Ketika dia menyadari apa yang baru saja aku katakan, wajahnya berubah dan telinga memerah. Dia mengambil langkah untuk mendekatiku, dia mengangkat tangannya dan menunjuk kearahku dan itu adalah tanda agar aku pergi. Sambil tersenyum padanya, dan secepat kilat aku berlari masuk ke dalam ruangan klub. Lagipula Aku juga harus memberitahu seseorang tentang hasil kemarin.
Di dalam raungan klub, aku mencoba untuk menelpon Win tapi aku memilih untuk mengirimkannya voicemail. Karena mengirimkannya pesan pasti tidak akan diperhatikannya. Dia pasti lupa untuk mencharge handphonenya. Frustasi, aku menaruh handphoneku dan mengambil semua barang-barangku, aku memasukkannya kedalam tasku. Aku tidak terbiasa pulang kerumah sendirian. Seseorang yang selalu berjalan bersamaku sampai di depan pagar rumah yang kosong. Bayangan temanku yang manis sekarang hilang.
Setelah perjalan pulang kerumah yang membosankan, aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Berguling, sambil meletakkan tanganku di bawah kepalaku dan melihat ruangan kamarku. Mataka terarah pada pada toples batuku dan tiba-tiba aku memikirkan Win. Handphoneku tidak berbunyi sama sekali dan aku mulai merasa cemas. Aku ragu dengan kesepakatan yang telah aku buat dengan ayah Win. Apa jika aku menjauh dari Winnie dia akan aman? Bahkan aku tidak bisa bersamanya sejak terakhir dia membantuku untuk belajar sebuah lagu. Hanya malam itulah dimana kedua orangnya pergi.
Aku berdiri, berjalan ke arah toplesku dan mengambil beberapa batu. Aku ingin mengetahui apakah dia baik-baik saja. Di sekolah dia terlihat sedih dan aku tidak bisa bilang kalau dia tersakiti. Aku tidak menemukan satu bekas lebam di tubuhnya. Ayahnya selalu berhati-hati saat dia ingin meninggalkan bekas lebam dan luka itu mudah sekali disembunyikan dibalik pakaian Win. Aku melempar batu ke jendela Win. Tidak ada respon sedikitpun, jadi aku mencoba untuk melemparnya lagi dan lagi. Belum ada balasan apapun dan itu membuatku lebih khawatir. Win seharusnya sekarang ada di rumah, jika dia tidak berada dirumah, itu bearti dia pasti pergi ke tempat biasa di taman. Dia hanya akan pergi kesana tanpaku jika ada hal buruk.
Sambil duduk di atas ranjangku, aku memandang ke arah jendela dimana cahaya menembus masuk mengarah ke toplesku yang meninggalkan bahanya dibaliknya. Aku sudah berjanji untuk menjauh dari Win agar dia bisa aman. Aku sudah berjanji tapi aku mengingkarinya. Jika Win terluka, aku tidak bisa menjauh darinya. Setelah aku putuskan, aku pergi meninggalkan rumahku dan mencoba untuk mencari teman baikku.
Aku duduk di kursi bagian tengah taman, aku bisa melihat ada seseroang yang sedang mengusap matanya. Kulit cerahnya mengkerut dan dia mengenakan celana biru pendek khusus. Bahunya sedikit bergetar, dia bernafas begitu pelan. Aku berjalan mendekati Win, aku duduk disampingnya tapi dia tidak menyadari keberadaanku.
“Ayahmu melakukannya lagi padamu, iakan?” Karena aku tidak bisa melihat lukanya lagi, aku tau aku benar. Menjaga agar suaraku tetap lembut disaat aku dalam keadaan marah seperti ini sulit. Hal terakhir yang dibutuhkan temanku ini adalah seseorang yang berteriak kepadanya, melindungi saat dia butuh perlindungan.
Ayah Win sudah dewasa. Dia sudah membuat janji padaku. Apa aku berlebihan meminta dia untuk berhenti menyakiti Win?
“Tidak apa-apa.” Setelah beberapa lama, Win akhirnya menjawabku tetapi mencoba untuk tidak melihat kearahku. “Kali ini adalah salahku.”
Kami duduk dalam sunyi. Dia tidak melihat kearahku dan aku tidak bisa melihat kearahnya. Kami berdua sama-sama tau kalau dia berbohong. Itu bukan hanya tidak apa-apa. Ini bukan salahnya. Apapun yang Win lakukan, dia tidak berhak menerima apa yang telah ayahnya lakukan padanya.
“Per, bukankah kau sudah berjanji padanya untuk menjauh dariku?” Win bertanya padaku, dia ragu saat melihat kearahku, terlihat ia takut dengan jawabanku dan matanya kembali melihat ke bawah.
“Ayahmu sudah mengingkari perkataannya sendiri, begitu juga aku.” Setelah aku memikirkannya inilah jawaban paling masuk akal. Perjanjiannya adalah jika dia berhenti untuk menyakiti Win jika aku menjauh darinya. Karena dia tidak menepatinya bearti penjanjian batal. “Ini impas.”
Win sedikit tersenyum, ada keringanan terlihat dimatanya. Dia tidak mau jauh dariku tapi malah aku yang ingin menjauh. Sudah cukup lama tinggal bersebelahan, kami tidak sering menghabiskan waktu bersama. Kami seperti tinggal di kantong saku masing-masing.
“Sebentar.” Sebuah getaran mengalihkan pandanganku. Kuambil handphone yang ada di sakuku, aku melihat siapa yang menghubungiku. Aku melihat kearah Win dan tersenyum “Ini Knott.”
“Halo?” Sambil menyandarkan sikuku di lutut, aku menjawab telepon itu.
“Hei,Per! Bagaimana bisa kau tidak datang ke pesta?” Knott bertanya dengan segera. Aku bisa mendengar dengan jelas suara yang begitu ramai.
“Pesta? Pesta apa?” Baiklah. Apa yang sudah aku lewatkan? Bagaimana bisa mereka membuat sebuah pesta tanpaku.
“Semuanya sedang berada di rumah P’Noh.” Dia langsung berbicara setelah dia membaritahuku.
“Tidak ada yang memberitahuku.”
“Oh, Aku kira yang lain sudah memberitahumu. Kau sebaiknya cepat. Suriyakinya hampir masak.”
“Suriyaki? Baiklah, baiklah” Oh yes, aku akan pergi jika ada makanan disana. Aku melihat kearah Win dan terdiam sejenak. Jika aku pergi, aku akan mengajak dia pergi bersamaku. Aku tidak bisa membiarkannya pulang kerumah. “Sebentar.”
“Apa kau punya rencana untuk keluar hari ini?” Aku bertanya pada Win sambil menjauhkan handphone dari wajahku.
“Tidak, aku tidak pergi kemanapun.” Dia sempat berpikir sejenak sebelum dia menjawabku.
“Apa kau tau.” Aku memberitahunya dengan riang, dan dia pasti akan pergi bersamaku. “Ayo pergi makan Sukiyaki di rumahnya P’Noh.”
“Apa kau yakin?” Dia menatapku mencoba untuk memastikan. “Aku tidak kenal dengan mereka. Aku hanya mengenal P’Noh.”
“Tenang saja. Mereka tidak peduli.” Aku meyakinkannya. Kami adalah kelompok pria yang baik dan menyenangkan jika aku bisa meyakinkan Win untuk pergi. Dia butuh jeda dari hidupnya yang seperti drama. “Ayo pergi.”
“Tapi, jika aku telat pulang kerumah, ayahku akan lebih marah lagi padaku.” Sedikit ketakutan terlihat di matanya tapi dia mencoba untuk tidak menunjukannya.
“Ini yang akan kita lakukan.” Sebuah senyuman kelicikan keluar dari wajahku saat aku mendapat sebuah ide. “Jika dia tidak memperbolehkan kau untuk masuk kedalam rumah, kau bisa tidur di rumahku. Ambil semua barang-barangmu, dan aku akan menjagamu. Oke?”
Win perlalan menaikkan alis matanya dan menatap mataku. Sekarang sebuah harapan bisa telihat dari matanya begitu juga ketakutan. Sebuah senyuman ia coba tunjukan padaku untuk menyembunyikannya dan kembali melihat ke bawah.
“Jadi, kau akan ikut kan?” Aku mencoba untuk mengajaknya, karena aku tau dia kan ikut.
“Helo, Knott?” Aku kembali meletakkan handphoneku ketelinga, dan kembali bicara pada Knott. “Kami akan segera kesana. Katakan pada yang lain agar tidak makan telalu cepat. Aku akan membawa Win. Tunggulah sebentar lagi.”
“Cepatlah. Aku tidak janji kalau soal makanan.” Knott tertawa. “Sampai jumpa.”
“Oke, da da.” Ku matikan sambungan teleponku, berdiri dan menjulurkan tanganku kepada Win. “Ayo. Cepat.”
Win melihat kearahku sejenak sebelum dia menyambut tanganku, dan sedikit terasa geli di kulitku. Tanpa mempedulikannya aku menariknya untuk berdiri dan dengan segera menariknya keluar dari taman. Jika kami tidak cepat, tidak akan ada makanan yang tersisa dan kami akan kelaparan. Juga, siapa tau kami akan melewatkan sebuah gosip yang menarik.

No comments:

Post a Comment