Tuesday 24 November 2015

Chapter 8: Truth & Lies (Part 3)

“Beritahu aku apa yang mengganggumu.” Sambil bersandar di tembok, aku menunggu dia untuk menjawabku.

“Mengenai kau tidur dengan semua wanita di convent..” Akhirnya Win mengakuinya.

“Kenapa? Iri?” aku tersenyum padanya, tapi dia tidak merespon perkataanku, aku merasa seperti ada kekosongan di perutku dan itu terasa aneh. “Aku hanya bercanda. Kenapa?”

“Baiklah…” Dia berhenti sejenak, Win melihat kebawah dan aku bisa melihat matanya memberi tahu ku kalau dia tersakiti. “Apa itu benar?”

“Aku tidak pernah memberitahumukan?” Aku tidak bisa melihat kearahnya. Aku tidak pernah ingin dia tahu tentang hal ini. Kebenarannya sudah diketahui, tapi tidak menyadari kalau semua ini dibalut sebuah kebohongan yang tidak ia ketahui. Ini waktunya untuk membenarkan semuanya. “Jika aku memberitahumu ini, apa kau bisa berjanji tidak mengatakannya pada siapapun?”

“Sebenarnya..” Aku melanjutkan perkataanku saat Win menganggukkan kepalanya. “Aku tidak pernah tidur dengan wanita convent. Aku hanya mengarangnya.”

“Lalu kenapa semua orang percaya dengan hal itu?” Win bertanya dalam kebingungan, aku tidak yakin apa dia percaya padaku atau tidak. “Bahkan Knott tau nama mereka semua.”

“Karena saat kau berbohong satu kali saja, kau tidak akan bisa menariknya lagi.” Ini juga bukan sebuah situasi yang kubanggaan. Aku malu untuk mengakui kesalahanku, tapi ini lebih baik dari pada Win lebih salah sangka padaku. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka katakan asalkan Win tau kenyataan yang sesungguhnya. “Apa kau tau saat kau pertama kali berbohong kau harus menutupi kebohongan sebelumnya dengan kebohongan baru? Ditambah lagi, Knott tau semua hal tentang diriku. Dia tau jika aku sedang berbicara dengan saiapa… tapi hanya berbicara. Tidak ada satupun wanita yang inging dekat denganku.”

Ada sebuah senyuman kecil di wajahku, menertawai lucunya diriku ini, tapi tidak ada rumor apapun dibalik itu. Kenyataannya kalau aku itu orang yang biasa saja, hanya seorang pria kurus dengan mulut metal. Aku sebenarnya terkejut karena mereka semua percaya dengan ceritaku yang berlebihan. Tentu, Aku mengarang cerita kalau aku minum bersama dengan para wanita dan itulah kenapa Knott percaya dengan kebohonganku. Aku bahkan menghabiskan malam bersama mereka, berbicara hingga tak sadarkan diri. Aku mungkin bukan seorang pria yang tampan aku kadang kala aku bisa menjadi pendengar yang baik dan selalu mendapatkan “Friend Zone”, aku bisa menghitungnya. Aku tidak mempermasalahkan hal itu selama aku bisa ada disana bersama dengan kehangatan tubuh disampingku saat dalam sebuah malam yang gelap…. Merasa selalu ada yang hilang saat itu.

“Aku memberitahumu ini karena kau adalah teman dekatku.” Senyumannya terlihat saat dia memandangku, mood nya sudah lebih baik dari sebelumnya. Karena sudah agak baik, aku menggosok rambutnya dan meletakkan tanganku di bahunya. Mata kami saling menatap, karena suatu alasan, jantungku berdetak kencang saat itu. Melihat dirinya dalam kehangatan sebuah kebahagiaan darinya. Setelah beberapa saat, kami kembali kedalam dan ternyata permainan kejujurannya sudah selesai.

“Bagaimana akhirnya?” AKu bertanya pada mereka yang ada diruangan.

“Per, kemana saja kau?” Knott bertanya saat dia sedang bermain video game. “Semuanya sudah berhenti bermai.”

“Kenapa bisa?” Sial, aku masih ingin mendengar banyak rahasia dari mereka. Mereka selalu mengarahkannya padaku itu bisa membuatku bisa bertanya banyak hal pada mereka.

“Benda itu selalu mengarah padaku jadi aku memutuskan untuk berhenti saja.” P’Ohm mengomel dari atas sofa.

“Mengapa kau melakukanya? Aku belum saja main.” Kekecewaanku terlihat nyata dan Win memalingkan pandanganya karena melihat kekanak-kanakanku.

“Kenapa aku tidak bisa?” Dengan memfokuskan pandangannya padaku, P’Ohm melanjutkan. “Aku yang memulainya, jadi aku bisa menghentikannya pula.”

“Curang.” Aku mengomel dibawah nafasku.

“Kemarilah, pijitkan kakiku. Per.” Sambil memukul pahanya, dia meluruskan kakinya.

“Ini?” berjalan mendekatinya, aku mulai memijat kakinya. Aku tidak bisa menolak perintahya saat aku sudah meletakkan tanganku padanya. Terkadang, aku penasaran pada diriku sendiri.

P’Ohm menyusapku dan ketika itu juga dia menarik sebuah tas dan menaruhnya di atas pangkuannya. Sebuah boneka aneh, apa itu gnome?... sebuah identitas kalau itu tas milik Noh. Tanpa ragu P’Ohm membukanya dan mencari apapun yang bisa ia temukan. P’Phun datang dari dapur dan duduk di dekat P’Ohm.

“Apa yang kau lakukan?” Sambil duduk di samping P’Ohm, Knott berhenti memainkan video game dan melihat apa yang seniornya lakukan.

“Mencoba untuk membuat diriku tetap terkenal.” Dengan begitu sungguh-sungguh dengan tas itu, P’ tidak menemukan apapun. Setelah menarik beberapa buku dari dalam tasnya, dia menemukan sebuah CD tanpa nama. “CD apa ini?” Dia memberikannya padaku. “Putar CD ini.”

“Aku?” Aku bisa mengerti kenapa dia menyuruhku untuk memutarya.

“Itulah kenapa aku tidak bisa memarahimu.” P’Ohm menjawabku, mencoba untuk memastikan.

“Apa yang kalian lakukan?” Setelah turun dari tangga, P’Noh berhenti di seberang bagian meja.

“Ingin memutar CD ini.” Sambil memegang CD itu, aku tersenyum padanya.

Ekspresinya berubah secara ekstrim saat melihat CD itu Matanya melebar dan tubuhnya terdiam kaku. Aku tidak yakin apa dia masih bernafas atau tidak. Lalu dia melihat ke arah P’Phun, dan bertingkah sangat panik.

“Ayo!” P’Ohm mendorongku agar aku pergi memutarnya.

Saat aku ingin berdiri, P’Noh tiba-tiba mencoba untuk mengambil CDnya. Yang lain menarik tanganku dan P mencoba mengambilnya dengan naik di atas. Dia akhirnya berhasil merebutnya dari tangan P’Phun dan dia dengan segera berlari ke arah dapur.

“Noh, ada apa denganmu?” Semuanya melihat ke arah Noh berpikir kalau dia seudah kehilangan akalnya. Apa isi dari CD itu sehingga dia tidak mau orang-orang melihat isinya. Cara dia bertingkah, kau pasti berpikir kalau ada sebuah rahasia besar yang tersimpan didalam CD itu atau sesuatu yang lain.

“Kau bahkan tidak bisa berbagi dengan teman-temanmu?”

“Berikan padaku! Kami ingin melihat apa isinya.”

“Tidak ada CD, tapi kita masih punya handphonenya.” P’Ohm mengangkat handphonenya. Handphone itu ternyata menggunakan password untuk membukanya dan P’ mencoba beberapa nomer untuk membukanya, termasuk dengan semua yang kami sarankan padanya, tapi tidak ada satupun yang bisa membukanya. P’Phn mengambil handphone dari tangan P’Ohm, dan P’Ohm memberikannya begitu saja, sepertinya sudah bosan. Beberapa detik kemudian, P’Phun memegang handphone itu dengan sebuah senyuman nakal, menunjukan cara membukanya.

“P’Phun tau.”

“Kau berhasil?”

“Dia tau.” P’Ohm berkata seolah dia tau kalau P’Phun pasti bisa membukanya.

Setelah itu, P’Phun memegang handphone itu dengan erat dan dia seperti menyesal. Wajahnya berubah menjadi putih pucat. Dia tiba-tiba pergi meninggalkan tempat ini tanpa pamit dengan P’Noh. Sepertinya ini tidak beres. Aku harap mereka tidak akan bertengkar lagi karena jika mereka bertengkar P’Noh akan menhadi super seram.

“Kemana Phun pergi?” P’Noh bertanya seketika dia kembali dari dapur. Dan CD yang ada ditangannya menghilang.

“Aku tidak tau.” P’Ohm menjawabnya sambil bermain video game. “Dia pulang sepertinya, aku melihat dia memainkan handphonemu lalu pergi.”

“Handphoneku?” Sambil mengambil handphonenya, tiba-tiab matanya melotot melihat ke arah handphonenya. Pertanya CD yang tidak ingin dia perlihatkan pada siapapun, sekarang ada sesuatu yag mengerikan dari handphonenya. Aku benar-benar penasaran dengan apa yang dilakukan ketua klub kami.

“Ya, handphonemu.” P’Ohm sesekali melihat kearah Noh sambil bermain game. “Kau memasang password. Tidak ada satupun temanmu yang dapat membukanya. Phun bisa membukanya hanya dengan mencoba beberapa kali. Kenapa dia bisa tau password handphonemu?” Sebelum P’Ohm menyelesaikan perkataannya, P’Noh langsung membuka pintu dan berlari keluar dari rumah, pergi meninggalkan kami dalam kebingungan… lagi. Dia bertinggak aneh lagi malam ini.

“Per.” Sambil menarik lengan bajuku, Win berdiri. “Kita harus pulang karena P’Noh tidak lagi disini. Lagipula aku sudah harus pulang.”

“Baiklah.” Sambil mengangguk aku berjalan mengikutinya keluar dari rumah dan melambaikan tanganku pada teman-temanku.

“Sudah mau pulang?” P’Ohm bertanya padaku saat dia meletakkan stick gamenya.

“Aku harus mengantar Win pulang.” Sambil meletakkan tanganku di atas kepala Win, aku tersenyum pada P’Ohm.

“Uh,, uh.” Senyuman licik terlihat di wajahnya saat aku membuka pintu dan pergi, dia juga mengedipkan mata padaku. “Pastikan istrimu sampai dirumah dengan selamat.”

“Apa aku harus memanggil Mick untuk memberimu ucapan selamat malam?” Sambil mengejeknya, aku memegang tangan Win dan menariknya keluar rumah sebelum dia melakukan sesuatu.

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai dirumah. Jalanan malam ini tidak begitu ramai malam ini dan lampu jalanan menuntun perjalan pulang kami. Rumah P’Noh tidak terlalu jauh dari rumah kami jadi kami bisa berjalan kaki untuk pulang kerumah. Saat kami sudah hampir sampai, Win dengan segera mengecek keadaan rumahnya. Semua lampu dirumahnya sudah mati dan hanya lampu terasnya yang menunggunya.

“Aku pikir ayahku sudah tidur.” Dia berbicara sambil menaruh jari telunjuk di depan bibirnya, memberiku sinyal untuk berbicara pelan dan memberiku lambaian sampai jumpa. Aku melihatnya masuk kedalam rumah dan malam yang tenang menyelimutiku. Aku kembali berjalan masuk kedalam rumahku tanpa rasa khawatir.

Setelah aku menyapa ibuku, aku naik ke lantai dua, masuk kedalam ruanganku dan keatas ranjangku, sambil membenarkan posisi bantalku agar aku bisa bersandar dan membuat posisi yang nyaman untuk kepalaku. Sebuah buku komik yang belum selesai dibaca kuletakan dimejaku dan menghadap kebawah. Belum waktunya untukku beranjak tidur, jadi ku ambil komik itu dan membacanya, tapi aku kurang istirahat untuk melakukannya. Sambil melektakkan buku komik itu ke atas ranjangku, aku melihat sekitar untuk mencari apa yang bisa aku lakukan.

“Per!” Suara ibuku terdengar memanggilku dari lantai bawah. “Bisa kau turun? Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.”

“Ya!” Sambil melihat jamku, siapa yang mau datang ke rumah orang selarut ini. Jika itu adalah temanku, aku tidak akan mendengar apa yang dikatakan ibuku tadi. Aku bergegas berjalan keluar dari kamarku menuju ke ruang tamu dan aku bisa mendengar suara mereka yang sedang berbincang. Suara feminim yang kudengar memberiku tanda kalau itu bukan temanku.

“Ah, Per. Ibu Mawin datang kesini untuk menemuimu.” Ibuku memanggilku dari ruang tamu.

“Hai.” Aku menyapa orang itu dan duduk dengan hati-hati. Ada sesuatu di balik pandangannya yang membuatku merasa tidak nyaman. Dia membawa sebuah kotak besar dimana itu tidak terlihat asing bagiku tapi aku tidak bisa mengingatnya kapan terakhir aku melihatnya.

“Hai, Per.” Ibu Mawin membalas sapaanku lalu mengambil kotak tadi dan mencoba untuk tidak melihat kearahku. Perhatianku terarah padanya dan pada kotak itu. Bagaimanapun aku tidak ingin tau apa yang ada didalam kotak itu dan aku benar-benar tidak mau mendengar perkataan apapun darinya. Instingku berkata kalau aku harus lari, karena aku tidak mau duduk disini bersama dengan seorang wanita gugup yang membawa sebuah kotak hitam.

Terima kasih sudah membaca.

No comments:

Post a Comment